Akad IMBT (Ijarah Muntahiya Bitamlik); Sebuah Kajian Deskriptif Dan Perbandingan

Oleh: Alda Kartika Yudha, Lc

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ekonomi islam memiliki banyak produk akad/ perjanjian yang sudah mashur dikalangan para pengkajinya. Beberapa diantaranya adalah bai’ (jual beli), ijarah (sewa), mudharabah (bagi hasil), msuyarakah (kerjasama), rahn (gadai), wakalah (perwakilan), dan masih banyak lainnya. Akad-akad/ perjanjian ini bisa dikatakan sebagai akad dasar yang ada dalam perjanjian islam sejak zaman Rasulullah.
Salah satu akad yang menarik untuk dibahas adalah akad ijarah (sewa) yang juga merupakan akad yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menarik untuk dibahas juga, karena dalam akad ini kemudian terjadi modifikasi dan perubahan diakibatkan kebutuhan manusia. Salah satu perubahan dari bentuk akad sewa ini adalah akad ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) atau juga dinamakan sebagai al-Ijarah thumma al-bai’ –AITAB- (sewa kemudian beli) dan hire and purchase.[1] Akad ini menggunakan dua akad dengan cara terpisah, yaitu akad sewa (ijarah/ leasing atau renting), dan akad jual beli (bai’/ purchase). Akad IMBT memilik kemiripan dengan akad leasing konvensional yang akhir-akhir ini sangat marak digunakan. Bisa dikatakan bahwa IMBT adalah leasing berbasis syariah.
Dengan berdasar apa yang telah penulis sampaikan diatas, dalam makalah ini, penulis mencoba untuk membahas tentang akad IMBT ini dari segi konsep dan prakteknya dalam perbankan islam ditinjau dari segi hukum positif dan hukum islam.
B.     Rumusan Masalah
Setidaknya dalam makalah ini, penulis akan mencoba memnjelaskan beberapa hal yang berkaitan tentang:
1.      Apa pengertian dan bagaimana konsep dari akad IMBT?
2.      Apa perbedaannya dengan akad leasing yang ada dalam perjanjian konsvensional?
3.      Dan seberapa syariahkah akad ini dalam pandangan penulis?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Secara etimologi, akad IMBT berasal dari tiga kata bahasa arab , yaitu ijarah, muntahiyah, dan bitamlik, yang ketiganya memiliki arti “sewa”, “berakhir” dan “dengan kepemilikan”. Sedangkan secara terminologi, Wahbah Zuhaili, mengartikan akad IMBT sebagai akad sewa (kepemilikan manfaat suatu barang dalam kurun waktu tertentu) dengan harga sewa yang lebih dari harga sewa biasanya dengan perjanjian berpindahnya kepemilikan barang tersebut diakhir atau ditengah-tengah akad setelah dilunasinya hak-hak pemberi sewa yang dilakukan dengan akad baru untuk pemindahan barang, baik dengan akad hibah, atau jual beli (jual beli dengan harga sebenarnya atau harga simbolik).[2] DSN-MUI, mengartikan akad ini sebagai perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.[3]
IMBT merupakan akad gabungan (hybrid contact) dari dua jenis akad yaitu ijarah/ hire/ sewa dengan akad bai’/ purchase/ beli atau bisa juga dengan akad hibah yang kedua akad ini harus dilakukan dengan cara terpisah dan tidak boleh bersamaan.[4] Akad ini juga merupakan akad turunan dan modifikasi dari akad ijarah dikarenakan kebutuhan manusia akan model perjanjian IMBT.  Inggris dalam UUnya mengatakan bahwa akad ini adalah akad sewa, sedangkan Perancis menyatakan bahwa akad ini adalah akad gabungan dari dua akad yang berbeda dan dilakukan dengan cara terpisah (sewa yang diikuti dengan beli). Meskipun begitu banyak juga yang mengatakan bahwa akad ini pada dasarnya adalah gabungan (menjadi satu) antara sewa dan beli. Islam sendiri menggunakan istilah yang sama dengan UU Perancis dikarenakan dalam islam tidak diperbolehkan adanya dua akad dalam satu akad.[5]
Dilihat dari segi sejarahnya, akad sewa jenis ini pertama kali berkembang di daerah USA sekitar tahun 1950 dengan nama financial leasing yang kemudian berkembang sangat cepat sampai tanah Eropa. Perjanjian ini pada tahun 70-an menjadi popular sebagai bentuk akad pembiayaan yang memberikan dana kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kebutuhan barang-barang baik perniagaan maupun industri.[6]
B.     Tinjauan Hukum Positif dan Islam
1.      Hukum Islam
     Dalam islam, akad IMBT diperbolehkan dengan beberapa dalil, diantaranya adalah:
a.       QS. Al-Thalaq (65) ayat 6: “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka.”
b.      Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya: “Barangsiapa mempekerjakan pekerja maka beritahukanlah upahnya.” Dan juga hadis-hadis lainnya yang menyatakan bahwa nabi pernah melakukan akad ijarah.
c.       Adapun inovasi yang ada dari akad ijarah ini menggunakan kaidah fiqh “pada dasarnya, semua bentuk muamalah itu diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.” Dan juga kaidah “dimana terdapat maslahat disana terdapat hukum Allah.”
d.      Fatwa pada seminar pertama Bait at-Tamwil Kuwait pada 7-11 Maret 1987 yang membolehkan akad ini selama tidak keluar dari kaidah ijarah yang sudah ditentukan.[7]
2.      Hukum Positif
   Pemberlakukan IMBT dalam perjanjian di Indonesia didasarkan dengan adanya hukum positif yang berlaku dalam bentuk peraturan-peraturan, beberapa diantaranya adalah:
a.       Asas kebolehan dan kebebasan inovasi dalam produk akad syariah yang diatur dalam UU No 21 Tahun 2008 pasal 19 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan “…atau akad lain yang tidak bertentengan dengan prisnsip syariah…”
b.      Berdasarkan KUHPerdata akad IMBT merupakan jenis dari perjanjian tidak bernama (Pasal 1319) yang timbul dari asas kebebasan berkontrak (pasal 1338). Akad IMBT pada dasarnya sudah memenuhi syarat-syarat sah dari perjanjian (pasal 1320) serta unsur-unsur perjanjian lainnya. Sedangkan akibat hukum yang ditimbulkan dari IMBT adalah adanya hak dan kewajiban bagi mereka yang melakukanya.[8]
c.       KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah), Bab X tentang Sewa-Menyewa, Bagian Kesembilan tentang Sewa-Beli dan Sanksinya, Pasal 276-287.[9]
d.      Fatwa DSN-MUI No 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik. Fatwa MUI dalam ekonomi syariah menjadi hukum positif berdasarkan UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan “Prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.”[10]

C.    Konsep IMBT
Konsep yang ditawarkan dalam akad ini sejatinya adalah akad sewa yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang berdasarkan janji yang sudah disepakati sebelum akad dimulai. Pemindahan kepemilikan barang pada saat berakhirnya akad ijarah bisa menggunakan akad jual beli (dengan harga sebenarnya atau harga simbolik) atau akad hibah.
Pilihan menggunakan akad jual beli diakhir masa sewa biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relati kecil, akumulasi nilai sewa hingga akhir masa sewa belum mencukupi harga beli barang dan margin laba yang diambil pihak bank. Oleh karena itu, akad yang digunakan adalah akad jual beli (baik dengan harga yang sebenarnya maupun dengan harga simbolik).
Pilihan menggunakan akad hibah biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa relative lebih besar. Karena harga sewa yang dibayarkan relatef besar, maka akumulasi harga sewa akan mencukupi harga barang dan margin bank. Dengan demikian bank tinggal menghibahkan barang tersebut kepada nasabah.[11]
Dalan konsepnya, akad ini memiliki beberapa gambaran akad. Wahbah Zuhaili[12] menyebutkan ada Sembilan gambaran akad yang terjadi berdasarkan akad ini:
1.      Akad sewa dengan janji menjual barang tersebut kepada nasabah ketika masa sewa berakhir dan uang sewa sudah setara dengan harga beli ditambah margin keuntungan bank. Akad ini diperbolehkan oleh syariat.
2.      Akan sewa dengan janji menghibahkan barang tersebut kepada nasabah ketika masa sewa berakhir dan uang sewa sudah setara dengan harga beli ditambah margin keuntungan bank. Akad ini diperbolehkan oleh syariat.
3.      Akad sewa dan beli secara bersamaan. Akad ini dilarang oleh syariat kecuali madzhab Malikiyah yang mengatakan boleh dengan alasan bahwa keduanya bukanlah akad yang bertentangan.
4.      Akad sewa dan beli dilakukan dengan cara bersamaan ditambah dengan adanya khiyar syarat sampai waktu tertentu. Hal ini sama dengan gambaran akad sebelumya. Hal ini sebenarnya bisa menjad boleh jika akad yang dilakukan tidak bersamaan. Dalam hal ini nasabah menyewa dengan harga normal yang ditambah klausul khiyar syarat bahwa nasabah memiliki hak untuk memiliki barang tersebut selama masa sewa dengan ditandai akad baru (jual beli) dengan harga pasar yang berlaku.
5.      Kedua akad terjadi secara terpisah, yaitu jika akad sewa yang kemudian ada keinginan nasabah untuk membeli barang tersebut dengan harga yang disepakati.
6.      Akad ijarah dengan adanya hak khiyar diakhir masa sewa, dengan memilih salah satu dari pilihan yang diajukan, a) Nasabah membeli barang tersebut dengan harga pasar, b) Memperpanjang waktu sewa, c) Mengakhiri waktu sewa. Jenis ini diperbolehkan oleh syariat.
7.      Bank membeli barang nasabah -100 juta misalnya- yang kemudian disewakan lagi kepada nasabah tersebut dengan janji akan menjual/ menghibahkan barang tersebut kepada nasabah diakhir masa sewa -dengan total harga 120 juta-. Hal ini mirip dengan model akad bai’ inan[13] dan ini diharamkan oleh syariat.
8.      Akad sewa dengan syarat barang tersebut akan dijual kepada nasabah. Akad ini masuk kepada akad bai’ mu’allaq yang juga diharamkan.[14]
9.      Akad hibah dengan syarat pelunasan harga barang dan hal ini diperbolehkan karena akad hibah masuk kedalam akad tabarru’.

D.    Praktek dan Contoh Kasus IMBT
Dalam prakteknya, IMBT ini ditempuh dalam beberapa tahap:
1.      Nasabah yang membutuhkan jasa penyewaan suatu barang selama xx bulan dan ingin ingin memiliki barang tersebut diakhir masa sewa akan tetapi tidak memiliki uang tunai untuk membayar datang ke bank (atau semisalnya) untuk mengajukan permintaan pembiayaan IMBT.
2.      Bank membeli barang tersebut dari penjual secara tunai.
3.      Terkadang bank tidak menerima barang tersebut secara langsung, akan tetapi serah terimanya diwakilkan oleh nasabah tersebut sehingga sifat dan ketentuan barang dapat sesuai dengan keinginan nasabah.[15]
4.      Bank dengan akad sewa menyewakan barang tersebut kepada nasabah dengan harga dan masa tertentu ditambah perjanjian perpindahan kepemilikan diakhir masa sewa jika harga sewa sudah menutupi harga beli plus margin keuntungan bank. penyerahan ini mungkin dilakukan dengan akad jual beli (dengan harga sebenarnya ataupun simbolik) ataupun hibah.
5.      Diakhir masa sewa barang diserahkan kepada nasabah dengan akad baru (jual beli atau hibah) yang menjadikan barang berpindah kepemilikan.
Contoh kasus dalam perjanjian IMBT adalah sebagai berikut[16]:
Bapak Hasan hendak menyewa ruko selama satu tahun mulai dari tanggal 1 Agustus 2002 sampai 31 Juli 2003 dan bermaksud membelinya di akhir masa sewa. Pemilik ruko menginginkan pembayaran sewa secara tunai di muka sebesar Rp 2 Milyar (tanggal 1 Agustus 2002) dan Rp 2 Milyar diakhir masa sewa untuk membeli ruko tersebut. Atau, bila ruko tersebut dibeli secara langsung pada tanggal 1 Agustus 2002, pemilik took bersedia menjualnya dengan harga 3,5 Milyar. Dengan pola pembayaran seperti diatas, kemampuan kuangan Bapak Hasantidak memungkinkan. Pak Hasan hanya mampu membayar sewa secara cicilan sebesar Rp 300 juta perbulan dan membeli ruko diakhir masa sewa. Oleh karena itu Pak Hasan meminta pembiayaan dari Bank Syariah sebesar Rp 2 Milyar diawal masa sewa dan Rp 2 Milyar diakhir masa sewa. Bank syariah menginginkan prosentase keuntungan sebesar 20% dari pembiayaan yang diberikan.
Dari contoh kasus diatas, bank akan membuat analisis keuangan dan juga memnentukan akad yang akan digunakan, yang dalam hal ini, bank akan menggunakan akad IMBT. Adapun anaslisisnya adalah sebagai berikut:
1.      Harga beli tunai + dengan margin keuntungan 20% = 3,5 milyar + 20% dari 3,5 milyar = 4,2 milyar.
2.      Kemampuan membayar nasabah adalah 300 juta perbulan. Maka dalam setahun bank akan menerima uang sebesar 3,6 milyar dari akad sewa, sehingga nasabah masih harus membayar 600 juta.
3.      Diakhir masa sewa, nasabah membeli barang tersebut dengan harga 600 juta sehingga terjadi perpindahan kepemilikan barang tersebut.

E.     Permasalahan Dalam Akad IMBT
Kenyataan bahwa akad ini merupakan akad modifikasi yang sebelumnya belum pernah ada dizaman nabi, sedikit banyak akan membuat kita bertanya-tanya perihal kesayariahan akad ini. Beberapa kalangan menilai bahwa akad ini memiliki permasalahan yang bisa membuatnya keluar dari jalur syariah itu sendiri. Beberapa pemasalahan dan jawaban atas permasalah itu antara lain adalah:
1.      Larangan berakad dengan dua akad dalam satu akad.
Pada dasarnya Rasulullah SAW melarang dua akan dalam satu akad sesuai dengan hadis nabi. Dalam permasalahan ini, pada dasarnya ulama tidak sepakat untuk mengkategorikan akad IMBT sebagai dua akad dalam satu akad. Hal ini setidaknya disebabkan karena dua hal:
a.       Akad ini pada dasarnya terdiri dari dua akad berbeda (sewa dan jual beli) yang dilakukan secara terpisah yang kemudian dihubungkan oleh janji pemindahan kepemilikan. Janji itu sendiri bukanlah sebuah akad, sehingga hal ini tidak bisa dikatakan sebagai dua akad dalam satu akad.
b.      Jikapun hal ini merupakan dua akad dalam satu akad, menurut Malikiyah akad ini diperbolehkan asal memenuhi syarat, yaitu tidak ada pertentangan dari akibat akad sewa dan akibat akad jual beli.[17]
2.      Larangan menyewakan barang yang bukan miliknya.
IMBT sebagaimana akad lainnya, tidak sah jika bank belum memiliki barang tersebut, sebagaimana hadis nabi yang berbunyi “janganlah kamu menjual barang yang bukan milikmu”. Oleh karena itu, bank tidak boleh menyewakan atau menjual barang kepada nasabah jika bank belum memiliki barang tersebut.
3.      Menjual dengan harga simbolik atau hibah diakhir akad sewa.
Hal ini diperbolehkan karena jika dilihat dari harga sewa barang pada akad IMBT biasanya melebihi dari harga sewa pada umumnya. Akan tetapi ketika nanti nasabah memutuskan untuk membatalkan perjanjian ditengah jalan, bank harus mengembalikan uang nasabah sesuai dengan kadarnya setelah dihitung kerugian bank. Hal ini berdasarkan kaidah keadilan dan asas mencegah keburukan dalam islam.  

F.     IMBT dan Leasing
            Leasing berasal dari kata lease yang berarti menyewakan[18], sedangkan secara istilah berarti kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna dengan hak opsi (hak untuk membeli setelah masa habis) maupun tanpa hak opsi, untuk digunakan oleh pihak penyewa (lesse) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secra angsuran.[19] Kontrak perjanjian ini diatur selengkapnya dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan Republik Indonesia NO. KEP/122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.[20]
            Pada dasarnya leasing merupakan perjanjian yang ada pada lembaga keuangan konvensional. Jika dilihat secara sepintas, keduanya sangatlah mirip. Meskipun demikian, ada perbedaan diantara keduanya yang harus kita cermati, bebrapa diantaranya yaitu[21]:

Bidang
IMBT
Leasing Konvensional
a.Aset/Obyek
-    Aset selama masa sewa menjadi pemilik bank/ muajjir
-    Bank/muajjir tetap menjadi pemilik aset setelah masa sewa berakhir, jika nasabah tidak bersedia membuat akad pemindahan kepemilikan (dengan jual beli/hibah).
-    Sama seperti dalam financial lease nasabah membeli aset dari supplier dengan dana pembiayaan dari bank dan asset langsung dicatatkan atas nama nasabah.
-    Aset kemudian dikontruksikan sebagai milik Bank (karena dibeli dengan uang Bank) dan Bank menyewakannya kepada nasabah.
Aqad/ perjanjian
Perjanjian menggunakan 1 akad dan 1 wa’ad (janji), yaitu akad ijarah dan janji jual beli atau hibah yang akan ditandatangani setelah ijarah berakhir (jika nasabah menghendaki). Maka perlu dilampirkan konsep perjanjian jual beli/hibah dan konsep kuasa kepada bank untuk menjual aset jika pada akhir masa ijarah nasabah tidak menginginkan aset.
Sewa dan jual beli menjadi satu kesatuan dalam 1 perjanjian.
Perpindahan kepemilikan
-    Perpindahan kepemilikan dengan menggunakan jual beli dan hibah setelah masa ijarah selesai.
-    Perpindahan kepemilikan diakui setelah seluruh pembayaran sewa telah diselesaiakan dengan akad jual beli.
Pembuktian kepemilikan objek
-    Bank/Muajjir dianggap pemilik dari obyek yang disewakan, logikanya banklah yang membeli barang dari supplier. Nasabah membeli barang tersebut dengan surat kuasa dari bank.
-    Dalam financial lease tidak mengkontruksikan bahwa lessorlah (bank) yang membeli barang dari supplier.

Jika melihat dari perbedaan diatas, leasing konvensional pada dasarnya hanya memiliki perbedaan sedikit dengan IMBT. Jika memang perbedaannya hanya yang disebutkan diatas tadi, maka bisa diambil kesimpulan bahwa leasing yang tidak menerapkan dua akad sekaligus (two in one) merupakan akad leasing syariah. Dua akad sekaligus tidak diperbolehkan karena adanya gharar didalamnya. Misalnya ketika akad leasing dengan model two in one berhenti ditengah jalan dan nasabah tidak mau meneruskan pembayaran, sedangkan bank juga tidak memiliki keinginan atas barang tersebut, hal ini akan menimbulkan masalah baru. Yaitu, bagaimana status uang nasabah yang sudah dibayarkan kepada bank (yang biasanya lebih banyak daripada sewa biasa)? Dan juga barang tersebut jadi milik dan tanggungjawab siapa? Permasalahan ini terjadi karena tidak adanya kejelasan akad yang digunakan, apakah sewa (artinya barang masih milik bank) ataukan jual beli (artinya barang menjadi milik nasabah)?
G.    IMBT Dan Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli, dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.[22] Misalnya, nasabah mengajukan akad pembiayaan murabahah sebuah motor kepada bank dengan harga 12 juta. Bank kemudian membeli motor tersebut dan menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga 15 juta. Karakteristik akad ini, nasabah harus tahu secara detail berapa harga beli bank, dan berapa keuntungan yang diambil oleh bank. Dalam akad ini, pembayaran nasabah kepada bank boleh dilakukan dengan cara angsuran ataupun tunai di waktu tertentu. Akad murabahah merupakan akan terpopuler yang digunakan oleh nasabah Bank Syariah di Indonesia dengan presentase 71,5% ditahun 2003 dan 59,2% di tahun 2007 dari seluruh akad yang diterapkan di Indonesia.[23] 
Kaitannya dengan akad IMBT, akad murbahah memiliki kemiripan dengan IMBT. Kedua akad ini sejatinya adalah akad pembiayaan untuk nasabah yang mengalami kendala ketika ingin membeli suatu barang. Bahkan dari segi prosesnyapun hampir sama jika kita tidak melihat secara mendetail. Adapun perbedaan antar keduanya jika dilihat lebih detail lagi menurut analisis penulis adalah sebagai berikut:

Bidang
IMBT
Murabahah
a.Aset/Obyek
-    Aset selama masa sewa menjadi milik bank/ muajjir
-    Bank/muajjir tetap menjadi pemilik aset setelah masa sewa berakhir, jika nasabah tidak bersedia membuat akad pemindahan kepemilikan (dengan jual beli/hibah).
-    Ketika bank membelii dari supplier, barang adalah milik bank, dan ketika nasabah membeli (baik kontan maupun cicil) dari bank, barang langsung menjadi milik nasabah.
Aqad/ perjanjian
Perjanjian menggunakan 1 akad dan 1 wa’ad (janji), yaitu akad ijarah dan janji jual beli atau hibah yang akan ditandatangani setelah ijarah berakhir (jika nasabah menghendaki). Maka perlu dilampirkan konsep perjanjian jual beli/hibah dan konsep kuasa kepada bank untuk menjual aset jika pada akhir masa ijarah nasabah tidak menginginkan aset.
Perjanjian/ Akad yang digunakan hanya satu, yaitu murabahah. Atau bisa juga dikatakan bahwa akad ini adalah akad jual beli dengan janji nasabah akan membeli barang yang sudah dibeli oleh bank.
Perpindahan kepemilikan
-    Perpindahan kepemilikan dengan menggunakan jual beli/ hibah setelah masa ijarah selesai.
-    Perpindahan kepemilikan dengan menggunakan akad jual beli murabahah.
Pembuktian kepemilikan objek
-    Bank/Muajjir dianggap pemilik dari obyek yang disewakan, logikanya banklah yang membeli barang dari supplier. Nasabah membeli barang tersebut dengan surat kuasa dari bank.
- Nasabah otomatis memiliki surat kepemilikan.
- Meskipun begitu dalam hal ini dibutuhkan jaminan untuk berjaga-jaga jika nasabah secara sepihak membatalkan perjanjian.

H.    Akad IMBT dan Murabahah; Plus-Minus
Kedua akad ini memiliki plus dan minusnya tersendiri, jika dilihat dari penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan beberapa diantaranya, yaitu:
1.      Dilihat dari segi kepemilikan barang, dalam akad IMBT jika tiba-tiba nasabah tidak mampu/ mau meneruskan pembayaran, maka bank masih memiliki barang tersebut. Hal ini tentu aman bagi bank. Berbeda dengan akad murabahah, dimana bank sudah tidak memilik barang tersebut. Oleh karenanya, perlu adanya perjanjian dan jaminan (jika diperlukan) agar nasabah akan menepati janjinya untuk melunasi pembiayaan murabahah tersebut.
2.      Permasalahan yang lain adalah pemindahan kepemilikan. Jika barang yang dibeli adalah semisal rumah, yang mana pemindahan kepemilikan memerlukan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar, hal ini membuat akad IMBT dan juga murabahah menjadi semakin mahal dan ribet. Akad murabahah dan IMBT mewajibkan bahwa objek akad adalah sepenuhnya milik bank, yang kemudian nasabah membeli dengan akad murabahah dari bank atau melakukan akad IMBT dengan bank. Oleh karena itu, perlu adanya hal-hal yang mengatur agar keduanya lebih mudah dan tidak menelan biaya berlebih. Salah satu solusinya adalah aturan/ regulasi untuk mempermudah pemindahan kepemilikan khusus dalam hal-hal yang berkaitan dengan pembiayaan dari bank.
3.      Jika dilihat dari kedua akad tersebut, dilihat dari sudut pandang bank, kedua akad pada dasarnya sama. Keduanya memiliki keuntungan dan beban yang seimbang, karena dalam akad murabahah sekalipun, meskipun barang sudah berpindah hak milik, bank juga boleh meminta jaminan kepada nasabah. Begitu juga dari sudut pandang nasabah, kedua akad tersebut memiliki keuntungan dan beban yang sama juga.


BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Pada bab kesimpulan ini, setidaknya penulis ingin merangkum beberapa hal sekaligus menjawab rumusan masalah yang sudah pernulis paparkan sebelumnya.
1.      IMBT adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.
2.      Konsep yang ditawarkan dalam akad ini sejatinya adalah akad sewa yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang berdasarkan janji yang sudah disepakati sebelum akad dimulai. Pemindahan kepemilikan barang pada saat berakhirnya akad ijarah bisa menggunakan akad jual beli (dengan harga sebenarnya atau harga simbolik) atau akad hibah.
4.      Ada beberapa perbedaan antara akad IMBT dengan leasing. Beberapa diantaranya dapat ditinjau dari segi objek, akad, perpindahan hak milik dan pembuktian kepemilikan objek.
5.      Akad IMBT ini meskipun terdapat beberapa masalah yang terlihat seolah menjadikan akad ini tidak syariah, akan tetapi pada dasarnya permasasalahan tersebut sudah terpecahkan dan dijawab oleh para ulama yang kompeten. Sehingga bisa dikatakan bahwa akad ini sudah sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Terakhir, setiap buku selalu diawali dengan permohonan maaf dari penulis maupun penerbit atas kesalahan tulisan atau kesalahan yang lain yang terdapat dalam buku tersebut. Kecuali al-Quran. Al-Quran diawali dengan kalimat “kitab itu (al-Quran) tidak ada keraguan didalamnya” tulisan ini tentu sangat jauh dari kata sempurna. Begitu juga makalah ini sama dengan buku-buku yang banyak kekurangan dan kesalahan yang ada didalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan oleh penulis makalah ini. Terima kasih. Wallahu a’lam bisshawab.

Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Al-Quran dan Terjemahannya
Dasuki, Hasiyah ad-Dasuqi ‘ala as-Syarh al-Kabîr, Beirut- Lebanon: Dar al-Fikr, 2011.
Karim, Adiwarman. Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, Cetakan Kesebelas, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016.
Triyanta, Agus. Hukum Perbankan Syariah, Malang: Seta Press, 2016.
Zuhaili, Wahbah. Mausûah al-Fiqh al-Islami wa al-Qadhâyâ al-Mu’âshirah, Jilid 13, Cetakan
Ketiga (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2013), hlm 477.
-------------------- al-Mu’âmalât al-Mâliyah al-Mu’âshirah, Cetakan Ketiga, Damaskus: Dâr al-
Fikr al-Mu’âshir, 2006.
Sumber Jurnal:
Ali Munif, Nasrulloh. “Analisis Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik Dalam Prespektif Hukum
Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal Ahkam, Vol. 4, No. 1, Juli, 2016.
Baehaqi, Muhammad. “Tinjauan Hukum Positif Terhadap Aplikasi Ijarah Muntahiya bi al
Tamlik (IMBT)”, Jurnal Istinbath (Jurnal Hukum Islam), Vol. 12 No. 1, Juni, 2013.
Sumber Peraturan-Peraturan:
Fatwa DSN-MUI No 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarahal-Muntahiyah bi al-Tamlik.
Djazuli, A. coord. ed., Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Bandung: 2007.
Sumber Internet
http://sina-na.blogspot.co.id/2014/10/makalah-sewa-beli-ijarah-muntahiyah.html, “Makalah Sewa Beli (IJarah Muntahiya Bittamlik”, Akses 2 Februari 2017.


[1] Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah, (Malang: Seta Press, 2016), hlm 57.
[2] Wahbah Zuhaili, al-Mu’âmalât al-Mâliyah al-Mu’âshirah, Cetakan Ketiga, (Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 2006) hlm 394.
[3] Fatwa DSN-MUI No 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarahal-Muntahiyah bi al-Tamlik.
[4] Pada dasarnya ulama berbeda pendapat tentang hukum penggunaan dua akad dalam satu akad. Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa akad jenis ini haram dengan dalil hadis Nabi yang berbunyi “Rasulullah SAW melarang dua akad dalam satu akad” (HR Ahmad). Pendapat kedua diutarakan dari kalangan Madzhab Malikiyah yang mengatakan bahwa dalam perkara ijarah plus jual beli diperbolehkan dua akad dalam satu akad. Hal ini seperti jika kita membeli baju dan meminta penjual untuk menjahitkannya (akad sewa untuk menjahit). Lihat: Wahbah Zuhaili, Mausûah al-Fiqh al-Islami wa al-Qadhâyâ al-Mu’âshirah, Jilid 11, Cetakan Ketiga (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2013), hlm 397 dan 406. Lihat juga: Dasuki, Hasiyah ad-Dasuqi ‘ala as-Syarh al-Kabîr, (Beirut- Lebanon: Dar al-Fikr, 2011) hlm 7-8.
[5] Wahbah Zuhaili, al-Muâmalâtop. cit., hlm 396.
[6] Muhammad Baehaqi, “Tinjauan Hukum Positif Terhadap Aplikasi Ijarah Muntahiya bi al-Tamlik (IMBT)”, Jurnal Istinbath (Jurnal Hukum Islam), Vol. 12 No. 1, Juni, 2013, hlm 36.
[7] Wahbah Zuhaili, al-Muâmalâtop. cit., hlm 399.
[8] Nasrulloh Ali Munif, “Analisis Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik Dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal Ahkam, Vol. 4, No. 1, Juli, 2016, hlm 78.
[9] A. Djazuli, coord. ed., Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), (Bandung: 2007), hlm 80-82
[10] Agus Triyanta, Hukum… op. cit., hlm 146.
[11] Adiwarman Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), hlm 149.
[12] Wahbah Zuhaili, Mausû’ah… op. cit., hlm 405-408.
[13] Model bai’ inan terjadi sebagai usaha untuk mengakali jual beli dengan riba supaya terlihat lebih syariah.
[14] Dalam hal ini syarat harus dibedakan dengan janji.
[15] Wahbah Zuhaili, Mausû’ah…op., cit. hlm 409.
[16] Adiwarman Karim, Bank Islam… op., cit. hlm
[17] Wahbah Zuhaili, Mausû’ah…op. cit., hlm 403.
[18] Komar Andasasmita, Serba-Serbi Tentang Leasing, Cetakan Ketiga (Jawab Barat: Ikatan Notaris Jawa Barat, 1989), hlm 34
[19] Didapat dari materi kuliah Lembaga Keungan Konvensional dengan dosen pengampu Dr. Surach Winarni.
[20] Komar Andasasmita, Serba-Serbi… op. cit., hlm 3.
[21] http://sina-na.blogspot.co.id/2014/10/makalah-sewa-beli-ijarah-muntahiyah.html, “Makalah Sewa Beli (IJarah Muntahiya Bittamlik”, Akses 2 Februari 2017.
[22] Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.
[23] Didapat dari materi kuliah Hukum Dan Ekonomi dalam Islam, Fakultas Hukum UII, dosen Ahmad Tohirin, Ph.D.

Posting Komentar untuk "Akad IMBT (Ijarah Muntahiya Bitamlik); Sebuah Kajian Deskriptif Dan Perbandingan"