KPK: Manifestasi kata "Harapan"
Manusia bisa hidup seminggu hari tanpa makanan, sehari tanpa minuman, semenit tanpa bernafas, tapi tidak sedetikpun tanpa harapan. Harapan adalah salah satu hal yang membuat semua orang mampu menjalani kehidupan ini, apalagi hidup di negara macam Indonesia ini. Harapan juga yang membuat warga bangsa ini masih bermimpi agar penegakan hukum di Indonesia ini bisa sesuai dengan sila kelimanya, bahkan setelah dipertontonkan drama ciamik dari orang yang disebut sebagai Pemimpin Wakil Rakyat itu.
Kata kuat yang dieja "harapan" ini, dalam masalah penegakan hukum (secara subjektif penulis) terbodi dalam sebuah instansi bernama KPK. Anda boleh tidak setuju, tapi faktanya instansi penegakan hukum yang lain setidaknya memiliki satu kekurangan besar untuk dapat memperoleh gelar "harapan" ini, yaitu Kepercayaan publik.
Tidak bermaksud menghina (akan tetapi sebagai kritik membangun), Instansi sekelas kepolisian-pun, dalam pandangan rakyat kecil, banyak yang mendeskripsikan sebagai instansi "penerima uang damai" (yang sebenarnya bukan sepenuhnya salah polisi, wong kadang yang minta damai juga masyarakatnya), atau pengawal bus wisata/ moge yang membuat macet jalan raya. PR kepolisian sendiri, sebenarnya lebih susah daripada "membasmi kejahatan dan menciptakan keamanan". Tugas terberatnya yaitu memperoleh kepercayaan publik sebagai penegak hukum yang bersih, santun, tak menerima atau bahkan memberi "uang damai", mengayomi masyarakat, dan bukan justru membuat rakyat takut ketika mendengar sirinenya dari kejauhan (ini pengalaman pribadi, padahal saya tak melakukan apa-apa, tapi mungkin karena efek psikologis). Apalagi dari pemberitaan terkahir ini, sadar tidak sadar kepolisian sedang dibenturkan dengan salah satu sekte agama (sebut saja agama islam) dan dianggap menganak-tirikan golongan ini. Ini belum termasuk drama Viktor, Alfaian Tanjung, Habib Rizieq, Rekening Gendut, Novel Baswedan, dll..
Kehakimanpun juga begitu. Drama Aqil Mukhtar (yang kala itu bergelar merupakan Wakil Tuhan Nomer Satu di Indonesia dalam penegakan hukum) hingga sidang Pra-Peradilan Sang Papa serta berita miring lainnya, seolah menjadi sebuah bor besar untuk melubangi "harapan" masyarakat akan terciptanya hukum yang berkeadilan.
Tentu banyak hakim dan polisi yang baik, dan bahkan mungkin hanya sedikit yang jahat. Akan tetapi sedikit yang jahat ini justru memenuhi pemberitaan di media masa dan mencuci otak para permisa.
KPK dengan segala kekurangannya, setidaknya (untuk saat ini) mampu menjadi sebauah manifestasi dari "harapan" akan penegakan hukum yang bersih dan berkeadilan. Saya tahu KPK tidak sempurna, tapi untuk sekarang, dialah yang menjadi cahaya. Yang saya takut, jika nanti KPK sudah tidak bisa menjadi simbol harapan lagi. Lalu kemana rakyat harus berharap? Semoga saat itu tiba (semoga saja nggak tiba), kepolisian dan kehakiman sudah mampu menjadi sumber harapan baru lagi.
Bravo KPK, Bravo Kepolisian, Bravo Kehakiman...
Manusia bisa hidup seminggu hari tanpa makanan, sehari tanpa minuman, semenit tanpa bernafas, tapi tidak sedetikpun tanpa harapan. Harapan adalah salah satu hal yang membuat semua orang mampu menjalani kehidupan ini, apalagi hidup di negara macam Indonesia ini. Harapan juga yang membuat warga bangsa ini masih bermimpi agar penegakan hukum di Indonesia ini bisa sesuai dengan sila kelimanya, bahkan setelah dipertontonkan drama ciamik dari orang yang disebut sebagai Pemimpin Wakil Rakyat itu.
Kata kuat yang dieja "harapan" ini, dalam masalah penegakan hukum (secara subjektif penulis) terbodi dalam sebuah instansi bernama KPK. Anda boleh tidak setuju, tapi faktanya instansi penegakan hukum yang lain setidaknya memiliki satu kekurangan besar untuk dapat memperoleh gelar "harapan" ini, yaitu Kepercayaan publik.
Tidak bermaksud menghina (akan tetapi sebagai kritik membangun), Instansi sekelas kepolisian-pun, dalam pandangan rakyat kecil, banyak yang mendeskripsikan sebagai instansi "penerima uang damai" (yang sebenarnya bukan sepenuhnya salah polisi, wong kadang yang minta damai juga masyarakatnya), atau pengawal bus wisata/ moge yang membuat macet jalan raya. PR kepolisian sendiri, sebenarnya lebih susah daripada "membasmi kejahatan dan menciptakan keamanan". Tugas terberatnya yaitu memperoleh kepercayaan publik sebagai penegak hukum yang bersih, santun, tak menerima atau bahkan memberi "uang damai", mengayomi masyarakat, dan bukan justru membuat rakyat takut ketika mendengar sirinenya dari kejauhan (ini pengalaman pribadi, padahal saya tak melakukan apa-apa, tapi mungkin karena efek psikologis). Apalagi dari pemberitaan terkahir ini, sadar tidak sadar kepolisian sedang dibenturkan dengan salah satu sekte agama (sebut saja agama islam) dan dianggap menganak-tirikan golongan ini. Ini belum termasuk drama Viktor, Alfaian Tanjung, Habib Rizieq, Rekening Gendut, Novel Baswedan, dll..
Kehakimanpun juga begitu. Drama Aqil Mukhtar (yang kala itu bergelar merupakan Wakil Tuhan Nomer Satu di Indonesia dalam penegakan hukum) hingga sidang Pra-Peradilan Sang Papa serta berita miring lainnya, seolah menjadi sebuah bor besar untuk melubangi "harapan" masyarakat akan terciptanya hukum yang berkeadilan.
Tentu banyak hakim dan polisi yang baik, dan bahkan mungkin hanya sedikit yang jahat. Akan tetapi sedikit yang jahat ini justru memenuhi pemberitaan di media masa dan mencuci otak para permisa.
KPK dengan segala kekurangannya, setidaknya (untuk saat ini) mampu menjadi sebauah manifestasi dari "harapan" akan penegakan hukum yang bersih dan berkeadilan. Saya tahu KPK tidak sempurna, tapi untuk sekarang, dialah yang menjadi cahaya. Yang saya takut, jika nanti KPK sudah tidak bisa menjadi simbol harapan lagi. Lalu kemana rakyat harus berharap? Semoga saat itu tiba (semoga saja nggak tiba), kepolisian dan kehakiman sudah mampu menjadi sumber harapan baru lagi.
Bravo KPK, Bravo Kepolisian, Bravo Kehakiman...
Posting Komentar untuk "KPK: Manifestasi kata "Harapan" "