Download bukunya di: https://goo.gl/7amvLp
Catatan; Tulisan ini bukanlah pembelaan untuk spesies jomblo dan juga saya. Ini hanyalah sebuah tulisan tentang mereka yang memilih menikahi ilmu.
Abu Ghudah menulis sebuah buku berjudul Ulama al-Uzzab al-ladzina Atsaru al-'ilma 'ala zawaj (Ulama Bujang yang memilih Ilmu daripada menikah. Entah apa yang merasuki tubuh saya, tiba-tiba saya males ngerjain tugas dan tertarik membaca buku ini). Dalam bukunya Abu Ghudah memberikan serentetan nama-nama spektakuler dalam dunia Islam yang ternyata hidupnya membujang (kata jomblo tidak pantas disematkan untuk para ulama hebat ini). Dan SPOLIER ALERT, saya tidak termasuk didalamnya. Nama-nama sekelas Ibnu Jarir ath-Thabari, Az-Zamakhsyari, Imam Nawawi, dll, termasuk didalamnya.
Para ulama yang memilih (bukan terpaksa karena nasib) untuk membujang ini bukanlah orang-orang yang tidak mengerti keutamaan menikah. Bukan pula orang yang menyatakan bahwa ilmu jauh lebih utama dari pada menikah, apalagi jika dikaitkan dengan mereka yang bermadzhab anti-nikah seperti filusuf dan penyair sekelas Abi al-'Ala al-Ma'arri yang bermadzhab anti memiliki anak (mereka ini adalah golongan yang mengatakan bahwa mempunyai anak adalah sebuah kejahatan, kecelakaan dan bencana). Abu al-'Ala bahkan berwasiat untuk menuliskan syair dikuburannya yang artinya: "Ini (maksudnya adalah dirinya sendiri) adalah kejahatan (pidana) yang dilakukan ayahku kepada diriku, dan aku tidak melakukan kejahatan (pidana) terhadap siapapun". Para ulama mulia ini dan saya juga bukanlah termasuk golongan yang mempunyai paham seperti itu.
Lalu apa alasanya?
Mereka (dan saya -meskipun tidak pantas untuk disejajarkan dan pada dasarnya saya belum menikah memang karena nasib, bukan karena pilihan-) mempunyai pemikiran lain mengenai menikah.
Mulai dari pertanyaan simple, seperti pentingkah menikah itu?
Jawabanya, menikah menjadi penting ketika ketika menikah bisa mengantarkan kita kepada tujuan kita, yaitu ridhonya Allah. Begitu juga dengan pertanyaan lainya seperti, pentingkah punya anak, bekerja, beli laptop dsb. Singkatnya, segala sesuatu jika tidak bisa mengantarkan pada ridho Allah menjadi tidak penting. As simple as like that.
Selanjutnya juga kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Saking cintanya, tentu para ulama ini akan menjauhi apa-apa yang dapat menjauhkan mereka dari ilmu. Apa itu?
Imam Bisyri pernah mengatakan pernyataan fenomenal bahwa "Ilmu itu hilang diantara dua paha wanita" (maksudnya adalah menikah, jadi yang cewek jangan sensi, itu cuma kiasan). Hampir semua ulama sepakat bahwa kesibukan setelah menikah mulai dari mencari nafkah, memberi perhatian terhadap pasangan dan anak, dll, merupakan hambatan terbesar bagi mereka yang sudah terlanjur jatuh cinta pada ilmu. Sehingga tak sering harus mengorbankan salah satunya.
Sederetan ulama-ulama yang pada dasarnya tidak bujang seperti Khatib al-Baghdadi, ats-Tsauri, Ibnu Hajar dan juga Umar bin Khattab bahkan menjadikan menikah dan menunut ilmu sebagai dua kutub yang berbeda. Sehingga takutnya, para ulama yang sudah terlanjur cinta ilmu ini justru akan menzalimi pasanganya dan anak-anaknya gara-gara ditinggal belajar dan berdakwah, atau harus memilih meninggalkan ilmu karena kesibukanya dengan keluarganya sebagaimana yang sudah terjadi pada banyak ulama sebelumnya.
Umar Ra pernah berkata "belajarlah kamu sebelum kamu menikah" yang menunjukan pentingnya ilmu sebagai modal menikah dan juga menunjukan bahwa setelah menikah keseringan orang tidak sempat belajar lagi.
Imam Ibnu Jauzi juga memberikan komentar tentang tips-tips bagi penuntut ilmu dengan menyatakan, "saya lebih cenderung menyarankan kepada para pemula yang masih menuntut ilmu untuk sebisa mungkin jangan menikah. Imam ahmad bin Hanbal baru menikah pada umur 40 tahun karena konsenya terhadap ilmu."
Syekh Halim Mahmud juga pernah menjelaskan tentang alasan seorang ulama Mesir Abi Abbas al-Misry (wafat 675 H) yang mengatakan bahwa "Saya tidak menghalalkan yang haram, dan juga tidak mengharamkan yang halal. Hanya saja ulama itu memang membutuhkan waktu sebanyak mungkin untuk berdakwah. Saya ingin fokus untuk benar-benar berdakwah, dan saya bukanlah seperti nabi dan para sahabat yang mampu mengkolaborasikan antara menikah dan berdakwah bersamaan.
Lalu, mendingan mana antara menikah dan membujang?
Abu Ghudah mengatakan bahwa menikah itu ada manfaatnyanya dan ada mudharatnya. Manfaatnya seperti: mempunyai keturuann, menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i, saling melindungi, dll, sedangkan mudharatnya adalah:; menikah sering membuat orang sibuk mencari dunia dan melupakan Allah, membuat orang mencari harta tanpa peduli halal dan haram, dll. Ketika manfaatnya lebih banyak daripada mudharatnya, ya menikah menjadi lebih bai, dan jika tidak, maka sebaliknya. Dengan bahasa lain, menikah itu jangan hanya karena gengsi atau karena bosen ditanya "kapan nikah?".
Jadi, kapan kamu nikah mblo?
Nulis sambil ngantuk, 9 Maret 2018, jam 23:50
Posting Komentar untuk "Mereka Yang Memilih Ilmu dari pada Menikah"