Corona: Kitab Hikam dan Perkataan "Ke Pasar Berani, ke Masjid Takut?"
Tidak hanya Work From Home, Ramadhan ini, sebagai umat Islam, kita harus menjalankanya dari rumah. Ramadhan From Home. Sahur, puasa, shalat, ngabuburit, buka puasa, tarawih,dan bahkan bisa jadi shalat ied pun juga di rumah. Baik ulama dari Muhammadiyah, NU, dan MUI sudah memberikan fatwa yang intinya ibadah Ramadhan dilaksanakan di rumah (terlepas dengan kriteria fatwa yang berbeda-beda). Ketiganya merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berisikan ulama-ulama yang ahli di bidang ke-Islam-an. Maka sudah sewajarnya bagi kita yang awam dalam ilmu agama, untuk mengikuti para ulama dalam hal ini. Sebagaimana ketika kita sakit, kita ikuti anjuran dokter, maka dalam hal beribadah, kita harusnya mengikuti anjuran ulama.
Sayangnya, ada saja yang masih meragukan
dan menolak fatwa-fatwa ini. Bahkan mereka berani memberi pernyataan semisal
“ke pasar berani, jalan-jalan berani, giliran ke masjid takut”, atau juga “ramadhan
tidak di masjid merupakan pendangkalan aqidah”, dan pernyataan-pernyataan lain
yang semisal, yang jika dibaca sekilas kelihatan benar, tapi hakikatnya
menyesatkan. Kalamul haq yuridu bihi bathil (perkataan yang seolah
benar, tapi sebenarnya menyesatkan).
Di masa bencana global seperti ini,
masjid dan takmir, seharusnya mampu menjadi pelopor dan memberi contoh utama
untuk menyelesaikan masalah. Bukan menambah masalah umat. Di zaman kemerdekaan
dulu, masjid mampu mengibarkan semangat untuk melawan penjajah, maka jangan
sampai di masa sekarang, masjid justru menjadi alat penyebar virus yang utama.
Bukankah yang paling faham
dengan agama ini adalah para ulama? Ulama MUI, NU, dan Muhammadiyah sudah
sepakat (ijma’) dengan Ramadhan From Home, lalu kenapa kita yang bukan
ulama dan Bahasa arab saja masih amburadul, justru seolah lebih ulama
daripada mereka yang ulama? Jika kita memberikan fatwa yang bertentangan dengan
para pewaris nabi, apakah kita berani mempertanggungjawabkan fatwa tersebut di
hadapan Allah dan Nabi Muhammad kelak?
Ramadhan Sebagai Ujian
Pada kenyataanya, umat muslim mana
yang rela jika masjid sepi, apalagi ketika Bulan Ramadhan? Tapi memang Ramadhan
kali ini berbeda. Ramadhan kali ini, umat muslim diuji agar tetap memulyakan
bulan Ramadhan tanpa harus ke masjid, tanpa harus bermai-ramai. Umat diuji,
untuk tetap menyambut tamu agung ini dengan memperbanyak ibadah di rumah. Pertanyaanya,
apakah kita masih mampu menyambut Ramadhan dengan tetap shalat tarawih sendiri
di rumah tanpa disaksikan banyak orang? Ataukah jangan-jangan kita termasuk
orang yang menganggap bahwa keistimewaan Ramadhan terletak pada ramainya
masjid, pengajian dimana-mana, dan banyaknya simbol religius semata? Jika
bertahun-tahun umat muslim sudah berhasil memuliakan Ramadhan dengan meramaikan
masjid, ini saatnya kita bisa membuktikan bahwa tanpa beramai-ramai di masjid,
kita tetap bisa menyambut tamu agung yang datang ini. Pertanyaan, apakah kita
mampu?
Bersandar kepada Allah
Jika ada yang merasa bahwa Ramadhan
tanpa buka bersama, taraweh, tadarus bersama, dan bahkan mungkin tanpa shalat
ied bersama, akan mengurangi rahmat Allah, atau bahkan mengundang murka Allah,
maka hal itu adalah kekeliruan besar. Karena pada dasarnya, Allah tidak
membutuhkan amalan kita. Amalan kita hanya pembuktian bahwa kita siap dan taat
menjadi hamba Allah dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Maka apapun bentuk amalnya, jika bertujuan mencari ridho Allah
dan tetap beriman kepada takdir buruk (Virus Corona) yang sedang menimpa kita,
maka hal itu bisa jadi, jauh lebih baik di mata Allah, daripada memaksakan meramaikan
tarawih yang sejatinya ibadah sunnah, dengan membahayakan nyawa sendiri dan
orang lain.
Dalam Kitab Hikam, Ibnu Athaillah
berkata, yang artinya kurang lebih, di antara tanda seseorang bersandar kepada
amalnya (dan bukan kepada Allah), adalah kurangnya sifat ar-raja’ (rasa
harap kepada rahmat Allah) ketika ada cacat/ kekurangan dalam amalnya.”
Dalam hikmah pertama yang ditulis
Ibnu Athaillah ini, kita dilarang bersandar kepada amal kita. Kita dituntut
untuk hanya bersandar kepada Allah semata. Sebagaimana kita dilarang
menyekutukan Allah dengan berhala dan api, kita juga dilarang menyekutukan
Allah dengan amalan-amalan kita. Seolah amal kitalah faktor utama datangnya
rahmat Allah dan surga dari Allah. Jika dilihat dalam kondisi sekarang, salah
satu bentuk bersandar kepada amal adalah ajakan untuk meramaikan masjid dalam
kondisi wabah pandemic corona, seolah, jika masjid sepi ketika Ramadhan, maka
Allah akan murka kepada kita. Naudzubillahi min zalik.
Posting Komentar untuk "Corona: Kitab Hikam dan Perkataan "Ke Pasar Berani, ke Masjid Takut?""