Ngaji Munqidz al-Ghazali: Ghazali Menjadi Sophistic (Bag 2)




            Keinginanya untuk mendapatkan kebenaran otentik tersebut, membuat Ghazali menguji semua premis dasar dan ilmu-ilmu yang ia miliki. Apakah ilmu dan premis dasar yang selama ini dia miliki sudah sampai ke derajat ‘ilmu al-yaqin” sebagaimana yang ia harapkan? Naas, ternyata tidak. Semua ilmu dan premis dasar yang ia yakini, runtuh dan meragukan dihadapan akalnya sendiri. Kecuali dua hal, yaitu ilmu/ pengetahuan yang berasal dari indra 9pengalaman indrawi) dan ilmu primer/ pasti (berasal dari akal). Tak puas dengan hal itu, lagi-lagi Ghazali menguji dua ilmu yang tersisa. Dan dia mendapatkan apa yang tak ia inginkan. Lagi-lagi keraguan!
1.      Ilmu Mahsus (Indrawi). Awalnya, dia berfikir bahwa ilmu itu datang dari pengalaman yang ditangkap oleh panca indra. Maka ilmu yang berasal dari indrawi pastilah ilmu al-yaqin. Akan tetapi, setelah kembali diuji, ternyata Ghazali menemukan keraguan dari ilmu ini. Menurutnya, indra paling kuat adalah indra penglihatan (mata), sementara pandangan mata, ternyata banyak menipu. Kadang benar, kadang salah. Misalnya, ketika kita melihat langit berwarna biru, akan tetapi ketika kita mengejar naik ke atas, ternyata warna biru itu tidak ada. Dulu, katanya bumi itu pusat tata surya yang dibuktikan dengan matahari terbit dan tenggelam (seoalah mengelilingi bumi), akan tetapi ternyata faktanya berlainan. Kesimpulanya disini, ilmu indrawi tidak bisa dijadikan pijakan untuk memperoleh ilmu al-yaqin, karena ilmu al-yaqin, harus diperoleh dengan wasilah dan premis dasar yang yakin juga. Maka runtuhlah landasan ilmu indrawi sebagai landasan kebenaran.

2.      Ilmu akal (kebenaran akal)/ rasional. Lebih tepatnya, Gazali menjelaskan bahwa, setelah runtuhnya ilmu indrawi, maka yang tesisa tinggal ilmu rasional (Ghazali juga menggunakan term ilmu dharuri). Misalnya, 10 lebih besar daripada 3, suatu hal yang berlawanan tidak mungkin berkumpul (nafiy wa itsbat laa yajtami’an), sebuah benda tidak mungkin memiliki sifat panjang dan pendek secara bersamaan, atau sifat “ada” dan sekaligus “tidak ada”. Jika dikaitkan dengan ilmu indrawi, hal ini bisa dimisalkan dengan, pensil yang dimasukan ke dalam segelas air, akan terlihat bengkok. “Terlihat bengkok” merupakan ilmu indrawi, dimana ilmu akal akan membimbing kita untuk menyatakan bahwa pensilnya tetap lurus, bengkoknya pensil hanyalah ilmu refraksi (pembiasan cahaya).
Semula Ghazali sudah merasa aman, akan tetapi kemudian muncul dalam pikiranya, bahwa ilmu indrawi seolah berkata kepadanya, “Bagaimana jika hal-hal rasional yang kamu yakini, itu seperti hal-hal indrawi yang kamu yakini? Mulanya, kamu yakin dengan ilmu indrawi, lalu kemudian datang hakim (ilmu) akal yang mendustakan hal itu. Andaikan hakim (ilmu) akal tidak datang, maka kamu pasti masih percaya denganku. Bisa jadi, nanti akan muncul hakim (ilmu) lain yang juga mendustakan ilmu akal. Hanya karena ilmu lain itu belum muncul, bukan berarti hal itu tidak ada.”
Kemudian, hukum indrawi melanjutkan argumentasinya, “contohnya, dalam mimpi, ketika seseorang bermimpi, akalnya pun ikut membenarkan mimpi tersebut. Barulah ketika dia terbangun, dia dan akalnya merasa tertipu. Akalpun terbatas karena banyak hal yang tidak bisa dijangkau dengan akal. Bukankah bisa jadi, kamu sekarang seperti dalam kondisi tertidur, lalu kemudian kamu akan bangun, dan menyalahkan semua yang terjadi dalam tidurmu?”
Kondisi ini dalam sebuah hadis (hadis marfu’ dari Ali Ra) dinyatakan dengan:
الناس نيام فإذا ماتوا انتبهوا
Artinya: manusia itu dalam keadaan tidur, dan jika mati, maka mereka terbangun.
Dan juga ayat al-Quran Surat Qaf ayat 22:
لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَٰذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ
Artinya: Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.
Dalam QS At-Takatsur juga terdapat kalimat yang menjelaskan bahwa Ilmu al-Yaqin, kelak dapat diperoleh setelah seseorang meninggal.
 حَتَّىٰ زُرْ‌تُمُ الْمَقَابِرَ‌ ﴿٢﴾ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ﴿٣﴾ ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ﴿٤﴾ كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ ﴿٥﴾ لَتَرَ‌وُنَّ الْجَحِيمَ ﴿٦﴾ 
Artinya: sampai kamu masuk ke dalam kubur. (2) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), (3) dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (4) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (5) niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim (6)
Disini kegelisahan Gazhali semakin menjadi-jadi. Setelah kebenaran berbasis panca indra tertolak, akal yang dia anggap landasan dan sumbernya ilmu, juga tertolak, dan dia tidak mempunya hipotesis lain. Penyakit skeptisisme itu menggeorgoti dan bertahta di hatinya selama dua bulan. Dalam waktu dua bulan itu dia terombang ambing di tengah madzhab/ aliran Sophistic (aliran yang menyatakan bahwa kebenaran itu tidak ada, yang ada hanya opini tentang kebenaran). Dia yang hanya bisa menentukan langkah tindakan saja tanpa bisa menentukan langkah logika serta ucapan.
Kemudian dia menceritakan bahwa Allah memberi kesembuhan kepadanya dari penyakit itu, dan kembalilah hatinya sehat dan normal seperti sedia kala. Kepastian-kepastian akal bisa diterima kembali dan bisa diakui kredibilitasnya. Datangnya kembali keyakinan itu, bukan karena cara pembuktian atau berbagai dalil yang tersusun rapi dan apik, akan tetapi berkat cahaya Allah yang telah allah letakan dalam dadanya.
Disini Ghazali menegaskan bahwa dia mengalami apa yang disebut sebagaikasyf (penyingkapan kebenaran akan suatu ma’rifat/ pengetahuan). Menurutnya, kasyf tidak hanya tergantung pada dalil-dalil saja. Mereka yang beranggapan bahwa kasyf hanya di dasarkan pada dalil-dalil, telah mempersempit rahmat Allah yang maha luas.
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ
Artinya: Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.  (al an’am: 125)
Kata “yasyrah” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasulullah bahwa artinya adalah cahaya yang ditancapkan oleh Allah dalam hati.
Disinilah Allah menyelamatkan Gazali dari penyakitnya dengan memberikan cahaya kebenaran tersebut. Ketika sesuatu dipikir dengan akal tapi tidak sampai-sampai, dan hati tidak tenang, ternyata kemudian Allah yang menenangkanya. Kemudian, menurut Ghazali, akal dan indra tetap bisa dipakai dalam tahap tertentu.
Setelah dia mendapati “kebenaran ini” dia kemudian mencoba menguji 4 aliran ilmu yang dia anggap sebagai aliran yang sedang berproses mencari “kebenaran hakikat” sebagaimana dirinya. Ada empat golongan yang akan dia bahas satu persatu.
1.      Mutakallimun, kelompok rasionalis (ahlu ra’yi wa nadzr)
2.      Bathiniyah/ Ta’limiyah yang merupakan pengikut imam ma’sum
3.      Filusuf, mereka yang mengklaim dirinya sebagai ahli logika dan ahli burhan (penjelasan/ demonstrasi/ argumentasi)
4.      Sufi, mereka yang mengklaim dirinya sebagai orang-orang khowas (khusus) dihadapan Allah dan ahli musyahadah dan mukasyafah (orang yang mengalami realitas puncak dan kedekatan dengan Allah).

Posting Komentar untuk "Ngaji Munqidz al-Ghazali: Ghazali Menjadi Sophistic (Bag 2) "