1.
Ilmu Kalam
Dinamakan ilmu kalam, karena metode yang dipakai adalah kalam
(bicara/ debat). Menurut Ghazali, pada awalnya Golongan Mutakallimun (Ahli
Tauhid) tumbuh untuk membela sunah dari rongrongan ahli bid’ah. Ketika itu,
ulama muslim harus berhadapan dengan teologi dan peradaban lain dalam
dakwahnya, dimana musuh dakwah mereka ketika itu menggunakan ilmu kalam untuk
mendebat ulama muslim. Oleh karenanya ulama ketika merasa perlu untuk
mempelajari ilmu debat dan logika. Karena barang tentu, ahli kalam (non-Islam)
tidak mau jika didebat dengan al-Quran dan Sunah karena mereka memang tidak
mengimani hal tersebut. Maka, ulama kalam Islam kemudian mencoba mengalahkan mereka
di "kandang mereka" yaitu kandang ilmu kalam.
Mulanya ahlu kalam menggunakan ilmunya dengan cara yang apik untuk
membela sunah. Namun kemudian ahli kalam menggunakan ilmunya selangkah lebih
maju dan melampaui wewenang ilmunya, yaitu untuk membahas berbagai hakikat
perkara dan mendalami perihal hukum sesuatu yang seharusnya tidak mereka bahas
dan mereka dalami. Dalam praktiknya, para mutakkalim ini banyak yang “iseng”
membahas sesuatu yang tidak relevan dan justru membuat umat Islam geger
dan terpecah. Misalnya, Mu’tazilah yang membahas tentang atom, jauhar, al-Quran
itu makhluk, dll.
Dari sini, ilmu kalam yang semula menjadi solusi, justru
menimbulkan kerusuhan dalam tubuh umat. Padahal apa yang mereka bahas sejatinya
tidak pernah ditentang oleh teolog lain. Kajian ini menjadi tidak efektif dan
tidak produktif karena mereka melampaui wewenangnya. Karena pembahasan yang
mereka lakukan bukanlah tujuan asli ilmu mereka, pada akhirnya ilmu ini tidak
bisa menjawab kegelapan dan perselisihan faham di masyarakat. Energi umat Islam
habis disini dan kemudian munculah perang saudara antar muslim, contohnya
Muktazilah VS Asy’ariyah yang bahkan dalam sejarah pernah menorehkan darah
ulama contoh seperti apa yang terjadi pada Imam Ahmad, dan juga yang terjadi pada
Imam Syafi’i dan Imam Bukhori).
Dari sini Imam Gazali berkesimpulan, ilmu ini tidak bisa dijadikan
sebagai obat bagi kegelisahannya. Ilmu kalam justru menimbulkan kegelisahan
yang baru. Dalam risalah ini, Sang Imam tidak banyak membantah ilmu kalam secara
detail, karena tujuan risalah ini bukan hal tersebut. Untuk lebih detail dalam
hal ilmu kalam, Ghazali menulis kitab iljamu ‘awam an ilmi kalam
(mengendalikan orang awam dari ilmu kalam) yang ditulis dari asumsi bahwa orang
awam jika mempelajari ilmu kalam, justru bisa jadi tersesat. Beliau menegaskan
bahwa tujuan risalah ini adalah untuk mencari obat untuk dirinya sendiri.
Menurutnya obat yang dicari tidak ada di ilmu kalam, karena ilmu kalam sendiri
butuh obat. Kadang, obat yang manjur di satu orang, justru menjadi racun bagi
orang lain.
2.
Filsafat
Setelah selesai dan tidak menemukan hakikat kebenaran di Ilmu
Kalam, beliau beralih ke pada Aliran Filsafat. Disini Ghazali membahas tentang
tujuan filsafat, bagian filsafat yang tercela dan tidak, filsafat yang membuat
pengikutnya kafir dan tidak, bid’ah dan tidak, perkara yang dicampur adukan
dalam filsafat, dan bagaimana mencari kebenaran di dalamnya.
Menurutnya ada beberapa macam ahli filsafat.
1.
Dahriyun:
atheis (tidak percaya pada tuhan). Mereka percaya pada hukum alam. Dahr berasal
dari kata waktu/ masa. Segalanya akan selesai dengan waktu/ masa.
2.
Naturalis
(Tabi’iyun). Mereka percaya tuhan, akan tetapi mereka tidak percaya hal ghaib
(Surga, neraka, sirath, dll). Mereka tidak percaya “ma waraa thabiah”
(hal-hal selain yang natural).
3.
Ilahiyun
(metafisika). Golongan filusuf yang percaya Tuhan, contohnya Socrates, Plato, dan
Aristoteles.
Secara garis besar, kajian filsafat meiliputi, mateimatika (riyadhiyat),
logika (mantiqiyah), ilmu alam (thabi’iyah), metafisika (ilahiyat),
politik (siyasiyah), dan etika (khalqiyah). Mereka yang ahli
dalam enam ilmu ini, bisa dibilang merupakan ahli filsafat. Secara umum,
sebenarnya Ghazali tidak melarang atau mengkafirkan filusuf secara mutlak. Akan
tetapi memang ada banyal hal yang ia tak sepakati dan ia bantah dari ucapan
para filusuf. Secara lebih lengkap dibahas dalam buku Tahafut al-Falasifah (Kerancuan
para Filusuf). Kebanyakan, Ghazali memang mengkritik keras para Filusuf muslim
terutama Ibnu Sina dan al-Farabi. Tapi dalam risalah ini, Ghazali tidak
membahas detail mengenai kerancuan filusuf ini. Setidaknya, disini Ghazali hanya
memperingatkan kepada kita agar hati-hati ketika mendalami ilmu filsafat,
karena setidaknya ada dua bahaya:
1.
Untuk
orang yang fanatik, akan menganggap bahwa semua pemikiran filusuf dan filsafat
pasti benar karena berdasar logika. Kalau sudah fanatik, mereka akan kehilangan
sifat kritis.
2.
Untuk
mereka yang anti filsafat. Mereka akan menganggap bahwa semua yang berasal dari
filsafat pasti salah. Padahal di dalam filsafat ada banyak hal yang penting, karena
kebenaranmemang bisa tersebar dimana-mana.
3.
Bathiniyah/ Ta’limiyah
Setelah mempelajati filsafat dan menjadi ahli di bidangnya yang
kemudian dia berkesimpulan bahwa Ilmu filsafat tidak bisa menuntunya kepada
kebenaran otentik, Ghazali mulai mempelajari aliran Bathiniyah yang merupakan
aliran sempalan dari Syiah Imamiyah. Prinsip dari ajaran ini adalah setiap
orang membutuhkan pengajaran (ta’lim) dan pengajar (mu’allim),
dan tidak semua orang bisa menjadi pengajar, mu’allim tersebut harus
yang orang ma’shum (terlindungi dari dosa). Ada banyak kritikan kepada
aliran ta’limiyah ini, yang secara lebih lengkap dijelaskan dalam kitab al-Qistas
al-Mustaqim karya beliau juga. Tapi secara ringkas, bantahan Imam Ghazali
yang dikutip dalam risalahnya ini adalah sebegai berikut:
1.
Ta’limiyah
berpendapat bahwa seseorang harus memiliki guru untuk belajar, dan guru itu
harus ma’shum. Disini Gazhali membantah dengan mengatakan bahwa, memang
benar bahwa kita membutuhkan guru dalam belajar, akan tetapi yang ma’shum
di dunia ini hanya Rasulullah Muhammad SAW. Jika mereka mengatakan “Gurumu
(Nabi Muhammad SAW) yang ma’shum sudah meninggal”, maka kita tinggal
menjawab “gurumu yang kamu anggap ma’shum-pun sekarang juga tidak ada
(Imam Mahdi yang diyakini sebagai Imam Ma’shum tidak ada di zaman itu, bahkan
sampai sekarang).
2.
Ta’limiyah
kemudian akan mengatakan bahwa gurunya yang ma’shum, sudah mengkader
banyak orang untuk menjalankan ajaranya, dan nanti jika ada masalah besar
(huru-hara besar yang menandakan kiamat) beliau akan datang sebagai penengah.
Disini Gazhali menjawab, guru kita (Muhammad SAW) juga sudah meninggalkan
banyak kader, dan jika ada masalah, maka beliau sudah meninggalkan al-Quran dan
Sunnah untuk menyelesaikan hal tersebut.
3.
Kaum
Ta’limiyah kemudian membantahnya lagi dengan mengatakan “bagaimana kalian bisa
menentukan hukum sesuatu padahal kamu tidak ketemu sama nabi, apakah
menggunakan nash? Bukankah nash itu terbatas, sedangkan masalah itu tidak
terbatas? Ataukah pakai ra’yi ijtihad? Dan bukankah pendapat itu sumber
perbedaan pendapat. Ghazali disini menjawab, kita berijtihad ketika tidak ada
nash di Quran dan Sunah sebagaimana yang telah Nabi Muhammad (yang merupakan
nabiku dan nabimu) perintahkan kepada Muadz ketika diutus ke Yaman. Sebagaimana
jika kalian tidak tahu arah kiblat untuk shalat, kalian pasti akan berijtihad,
dan tidak mungkin pergi ke negri Imam Ma’shum kalian untuk bertanya arah
kiblat, karena sesampainya kalian ke negri Imam kalian, waktu shalat sudah
habis atau bahkan si penanya bisa jadi wafat di tengah jalan. Artinya, ijtihad
itu dalam beberapa hal merupakan keharusan.
Selain itu, Gazhali juga menguji aliran Ta’limiyah ini dengan
mengajukan persoalan yang amat rumit kepada kaum mereka. Ketika, orang
Ta’limiyah menjawab “kami tidak tahu jawabanya, kita tunggu saja Imam Ma’shum
untuk menjawab hal ini”, disitu kemudian Ghazali membalas mereka dengan
menyatakan “apakah kalian mau menyia-nyiakan umur kalian hanya untuk mencari
guru, padahal setelah kamu mendapatinya, kalian sama sekali tidak belajar
tentang ilmu darinya. Itu seperti halnya kalian yang terlumuri oleh najis, dan
susah-susah mencari air, lalu setelah mendapatkan air, kalian tidak menggunakan
air tersebut.” Dari kajianya mengenai aliran Ta’limiyah, lagi-lagi Ghazali
tidak menemukan obat untuk penyakitnya.
Model aliran Ta’limiyah ini sebenarnya tidak hanya masyhur di zaman
Sang Imam, akan tetapi juga masyhur di zaman ini. Banyak orang yang fanatik
terhadap ajaran gurunya seolah gurunya tidak bisa salah. Hal ini juga mirip
dengan faham di Indonesia yang menyebar dan menyatakan bahwa untuk menjadi
muslim sejati harus melakukan berbaiat dengan si fulan dan hanya kepada si
fulan, dan jika tidak, maka Islamnya tidak benar. Lalu mereka meyakini, apa
yang dikatakan si fulan (sang guru) adalah hal yang pasti benar.
Dalam dunia nyata, aliran seperti ini biasanya banyak menimpa orang
yang sudah sukses secara duniawi baik secara intelektual, harta dan jabatan,
kemuadian mengalami kegalauan spiritual. Ghazali-pun adalah salah satu contoh
yang mengelami kegalauan spiritual. Kemudian mereka menemukan jalan keluarnya
ketika bertemu dengan aliran spiritual. Disaat seperti ini adalah saat krusial,
karena seseorang bisa jadi justru mendapati guru spiritual yang salah. Kasus
Dimas Kanjeng, yang dulu sempat merebak hanyalah salah satu contoh ketika guru
dipuja bak orang ma’shum yang bahkan dipuja oleh orang intelektual
sekelas Marwah Daud Ibrahim.
Posting Komentar untuk "Ngaji Munqidz al-Ghazali: Menguji Ilmu Kalam, Filsafat, dan Bathiniyah (Bag 3)"