Siapa yang tidak kenal Imam Ghazali? Beliau dijuluki sebagai
Hujjatul Islam (Pembawa Bukti Islam) karena saking banyaknya disipilin
Ilmu yang dia kuasai mulai dari fikih, ushul fikih, hadis, ilmu kalam, filsafat
dan tentunya tasawuf. Beliau mampu mendatangkan hujjah-hujjah ketika ada
golongan yang mencoba mendiskreditkan Islam lewat jalur ilmu mereka
masing-masing. Beliau juga dijuluki sebagai Mujaddid Abad V H. Ghazali lahir di
Thus (15 mill ke arah utara dari wilayah Meshad, Iran) pada 450 H/ 1058 M dari
seorang ayah yang kurang mampu secara finansial yang mempunyai pekerjaan
pemintal benang (Ghazzal). Nama aslinya adalah Muhammad, dan nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
at-Thusi. Namanya juga masyhur di dunia kesarjanaan barat dengan nama Algazel.
Murid Imam al-Haramain al-Juwaini ini merupakan guru besar dan
menjadi rektor di umur 34 tahun di Madrasah Nidzamiyah di Baghdad. Karena
kegelisahan spiritualnya, dia kemudian mengembara ke Damaskus, Yerussalem,
Madinah, dan Mekkah untuk mendalami Ilmu Tasawuf, yang dalam masa uzlah-nya ini
dia mengarang master piece-nya yang berjudul Ihya Ulumuddin. Setelah
sekitar 11 tahun mengembara meninggalkan jabatan, kemasyhuran, istri, anak, dan
keluarga, beliau kembali lagi ke Naisabur hingga meninggal di usia 57 tahun
pada 505 H/ 1111 M.
Meskipun kitab terkenalnya adalah
Ihya Ulumuddin, dalam kesempatan kali ini, kita akan mencoba membahas dan me-review
kitab karanganya yang juga sangat masyhur berjudul al-munqidz min adhalal
(Pembebas dari Kesesatan). Kitab al-Munqidz ini awalnya adalah sebuah risalah
(surat) balasan atas pertanyaan seseorang mengenai suatu hal kepada Sang Imam. Pada
zaman itu, adalah hal yang lumrah ketika seorang ulama ditanya tentang sesuatu,
lalu kemudian ulama ini membalas dengan sebuah surat, karena balasan agak
tebal, kemudian dijadikan sebuah buku kecil. Ada banyak risalah-risalah Imam
Ghazali yang semisal yang kemudian dikumpulan menjadi kitab majmu’atu
ar-rasail (kumpulan surat-surat).
Pendahuluan
Dalam pendahuluanya, dijelaskan
bahwa kitab ini ditulis setelah beliau kembali dari perantauanya untuk
memperdalam ilmu tasawuf, ber-uzlah, dan ber-khalwat. Setelah
kembali ke Naisabur, beliau ditanya oleh sahabatnya mengenai beberapa hal.
Kitab ini juga sekaligus bersisi curahan hatinya mengenai:
1.
Kesulitanya
dalam mencari-menemukan kebenaran di antara berbagai aliran yang ada kala itu.
Selain itu juga penjelasan mengenai metode aliran-aliran tersebut.
2.
Keberanian
Gazali untuk keluar dari pintu taqlid menuju istibshar (bashirah/
mencari pengetahuan yang dalam) untuk menemukan kebenaran.
3.
Apa
yang dia pahami dari aliran-aliran Kalam.
4.
Apa
yang dipahami dari aliran ta’lim (batiniyah/ syiah Imamiyah) yang
bertaqlid kepada imam ma’shum-nya.
5.
Apa
yang dia tentang dari filsafat.
6.
Apa
yang dia sukai dari cara hidup orang sufi.
7.
Apa
yang dia tahu tentang beragam pandangan manusia dan inti kebenaran.
8.
Apa
yang membuatnya tidak mau menyebarkan ilmu di Baghdad padahal siswanya begitu
banyak dan jabatanya sudah tinggi.
9.
Apa
yang mendorongnya untuk kembali ke Naisabur setelah sekian lama ditinggalkan.
Bermula dari banyaknya aliran-aliran yang ada, Ghazali mulai
mencoba untuk mencari hakikat kebenaran dengan cara membuat standar kebenaran
dan mengupas tuntas segala aliran yang dia temui. Tidak hanya membahas, akan
tetapi Ghazali juga masuk dan mempelajari hingga menjadi seorang ahli dalam
aliran tersebut, mulai dari kalam, filsafat, ta’lilmiyah, sufi, hingga pelaku
zindiq. Karena menurut al-Ghazali orang yang memberi sanggahan terhadap suatu
paham (aliran) sebelum memahami dan mengetahui hakikatnya, laksana orang buta
yang memanah.
Dalam proses mempelajari hal-hal ini, hatinya kemudian tergerak
untuk mengetahui perihal hakikat segala sesuatu/ kebenaran otentik. Apa itu
kebenaran? Bagaimana cara mendapatkanya? Dan bagaimana cara mengujinya?
Secara sederhana, dalam pencarianya akan hakikat kebenaran Ghazali
melakukan tahapan sebagai berikut:
1.
Dia
memasang standar hakikat kebenaran, yang menurutnya seusatu dapat disebut
sebagai kebanaran ketika dapat diterima oleh akal dan tidak ada keraguan
sedikitpun.
2.
Ghazali
mencoba mencari premis dasar yang tidak mungkin bisa salah dan bisa dibantah.
3.
Kemudian
Gazali mencoba menguji semua teori dan ilmu yang sudah ada, dan dicari
kebenaran dan kesalahan ilmu terebut.
4.
Ghazali
menerima semua pendapat dan membuka diri terhadap informasi apapun dan siapapun
bahkan dari kalangan yang dia benci. Buktinya yaitu, dia baru mengkritik
filsafat setelah dia ahli filsafat. Mengkritik ilmu kalam, setelah ahli ilmu
kalam.
Sebagai penjelasan, awalnya Ghazali membuat standar mengenai apa
itu kebenaran yang hakiki. Dia berkesimpulan bahwa untuk mengetahui hakikat
kebenaran, maka dia harus memiliki ilmu yang meyakinkan (ilmu al-yaqin).
Ilmu yang tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya. Contohnya adalah,
pengetahuan tentang 10 lebih banyak dari pada 3. Pengetahuan ini adalah ilmu
yang sangat meyakinkan, bahkan jika ada orang yang dapat mengubah batu menjadi
emas, atau tongkat menjadi ular, lalu mengatakan bahwa 3 lebih banyak daripada
10, keyakinanya tidak akan goyah. Itulah ilmu yakin. Menurutnya, ilmu yang
tidak diperoleh dengan hasil seperti itu, bukanlah ilmu yakin.
Kemudian dia mencoba membangun kebenaran tersebut dari
premis-premis dasar dan sederhana yang sudah pasti benar. Premis dasar yang
sudah benar ini kemudian akan menuntun kepada premis-premis yang lebih besar
dan tetap benar. Hal ini diambil dari cara berfikir bahwa sejatinya cara untuk menghancurkan
pemikiran seseorang yang terbesar sekalipun, hanya tinggal menghancurkan premis
dasarnya, maka jika premis dasarnya hancur, hancurlah pemikiran dia seluruhnya.
Misal, jika ada seseorang memiliki premis dasar “Indonesia sebentar lagi akan
jaya” lalu dari premis ini, mulailah orang memperdebatkan hal-hal besar seperti
siapa yang bisa membawa kejayaan, bagaimana bentuk kejayaan, dll. Padahal kalau
kita lihat bersama, premis awalnya saja belum tentu benar. Bisa iya, bisa
tidak. Misal yang lain, ilmu sosiologi berasal dari asumsi dasar bahwa “manusia
adalah makhluk sosial”, dari sini kemudian terciptalah teori-teori besar
sosiologi. Maka, ketika kita bisa meruntuhkan premis dasar ini, maka seluruh
bangunan ilmu sosiologi akan runtuh. Ghazali tidak ingin sesuatu yang dia
anggap sebagai kebenaran, ternyata berasal dari premis yang meragukan seperti
ini.
Posting Komentar untuk "Ngaji Munqidz al-Ghazali: Pendahuluan (Bag 1)"