Ngaji Munqidz al-Ghazali; Tasawuf dan Jalan Kebenaran (Bag 4-Terakhir)



4. Tasawwuf
Setelah kekecewaan Ghazali dengan ilmu kalam, filsafat, dan ta’limiyah, Ghazali beralih kepada Ilmu Tasawwuf. Dia kemudian membaca banyak buku tentang hal tersebut, mulai dari Quttul Qulub-nya Al-Makky, Mutafarrikat al-Ma’tsurah milik al-Junaidi, karya-karya al-Syibli, Abu Yazid al-Bustomi, Haris al-Muhasibi, dll. Tapi kemudian dia menemukan kekecewaan karena kitab yang ia baca hanya memberikan wacana dan teori tasawuf, sedangkan inti tasawuf yang sebenarnya ada pada pengamalan (al-ahwal) dan rasa (dzauq), bukan hanya sekedar pada aqwal (ucapan). Dari sini kemudian Ghazali berazam untuk uzlah, khalwat (menyepi), dan mengunci diri demi mencari obat untuk kegalauanya dan menghapus dahaga intelektualnya melalui tasawuf.
Selain tujuan demi mencari kebenaran sejati dan menguji ilmu tasawuf, Ghazali ternyata menyadari bahwa dirinya sudah terlalu jauh melenceng dari keikhlasan kepada Allah. Alih-alih mengajar dengan niatan murni kepada Allah, setelah dia cek amalan-amalanya, ternyata dia dapati, dirinya berada ditepi jurang kehancuran jika ia tak segera memperbaiki amalnya. Motivasi mengajarnya dan ibadahnya selama ini ternyata hanya demi “talabu al-jah” (kemasyhuran/ ketenaran dan jabatan). Buktinya adalah perasaan enggan untuk meninggalkan hal tersebut. Bahkan pernah suatu ketika, adiknya Ahmad al-Gazali yang dikenal sangat sufistik, menuding sang kakak, ketika sedang memberi kuliah dihadapan jamaahnya, dengan mengatakan “wahai batu asah, sampai kapan engkau menajamkan orang lain, tapi engkau sendiri tetap tumpul”.
Keinginanya untuk uzlah dan tarikan duniawi terjadi hingga hampir enam bulan. Perasaan terombang-abing itu, membuat Sang Imam tidak bisa berbicara ketika mengajar, bahkan tak bisa menelan sepotong roti dan seteguk minuman. Para dokter yang kala itu memeriksanya mengatakan “ini adalah sesuatu yang terjadi pada hati, lalu menjalar ke seluruh tubuh. Karena itu, ini tak mungkin sembuh kecuali jika hatinya dan kegelisahanya sembuh”.
Dalam momen seperti ini, Ghazhali mengatakan “saat kusadari ketidakmampuanku dan sudah gugur semua ikhtiarku, aku berlindung kepada Allah sperti orang terpojok dan sudah tidak ada tempat untuk menghindar lagi. Tak lama sesudah itu, permintaanku di ijabahi oleh Zat yang mengabulkan permintaan orang terjepit ketika berdoa. Kemudian dengan gampang hatiku berpaling dari pangkat, harta, keluarga, anak, dan para sahabat.”
            Ketika akhirnya Ghazali bisa keluar dari Baghdad dan bertekad tidak akan kembali lagi, dia kemudian melakukan perjalanan ke Syam dan menetap selama dua tahu. Di Syam, Ghazali selalu ber-uzlah, khalwat, riyadhah, dan mujahadah, untuk membersihkan nafsu, akhlak, dan menjernihkan hati guna mengingat Allah. Kemudian dia pergi ke Baitul Maqdis, Mekkah dan Madinah. Puluhan tahun dia melakukan khalwat dengan berbagai godaan yang dia alami. Ghazali mengatakan bahwa dia melihat banyak hal yang tak terhingga dan tak terhitung hingga dia berkesimpulan secara pasti bahwa para sufi adalah orang-orang terdepan dalam berjalan menuju Allah Swt. Jalan mereka adalah jalan terbaik dan paling benar. Akhlak mereka pun akhlak yang paling bersih. Karena seluruh gerak batin dan lahir mereka dipetik dari cahaya kenabian, dan tidak ada cahaya yang lebih tinggi daripada itu. Maka barangsiapa yang tidak bisa merasakan dzauq ini, ia tidak akan bisa merasakan hakikat kenabian.
Disini Ghazali mendapatkan pencerahan baru. Hakikat kenabian atau untuk lebih mudah kita bisa menggunakan kata ilmu yang bersifat intuisi/ intuitif. Pengetahuan manusia memang bisa diperoleh lewat panca indera yang dibantu oleh akal, akan tetapi pengetahuan yang sifatnya intuitif, jauh lebih kuat. Pengetahuan intuitif ini bisa berupa dzauq (rasa), ilhamiyah (yang diilhamkan Allah), atau wahyu (yang diberikan kepada nabi). Dalam Islam, al-Ilmu nuurun, ilmu adalah cahaya yang diletakan oleh Allah di hati manusia. Ilmu intuisi ini sifatnya hudhuri (dihadirkan oleh Allah didalam hati seseorang), bukan lewat akal. Pengetahuan model ini, menurut Ghazali jauh lebih kuat daripada pengetahuan yang datang dari akal dan indra, karena susah untuk dibantah.
Kenapa pengetahuan yang seperti ini sulit dijangkau pakai akal? Karena level akal kita belum sampai. Hal ini dapat dimisalkan dengan anak yang baru tamyiz (sekitar 7 tahun), tidak akan/ susah memahami akal orang dewasa. Orang yang cenderung menggunakan akal saja hakikatnya seperti anak mumayyiz, dan mereka akan kesulitan untuk memahami ilmu di tingkat kenabian (ilmu yang dialami dengan intuisi). Karena hal ini harus dirasakan sendiri. Menurut Ghazali, berdebat dengan orang yang belum merasakan hal ini, hanya seperti berdebat tentang konsep warna dan bentuk dengan orang buta sejak lahir. Contoh yang lain, kita tidak bisa mengajak berdebat tentang hakikat “bahwa shalat itu membuat hati damai” jika yang kita ajak debat tidak merasakan sendiri hal tersebut. Dari penjelasan Ghazali mengenai ilmu tasawuf ini, dapat dilihat dia begitu yakin bahwa jalan menuju hakikat kebenaran ada pada aliran ini.
Ghazali Kembali Turun Gunung
Setelah uzlah dan mengalami banyak kejadian mukasyafah-musyahadah, dan menyelesaikan khalwat-nya setelah hampir sebelas tahun (488 H-499 H), Ghazali kembali lagi ke kota asalnya. Banyak yang heran, karena semula menilai Gazali tidak akan kembali lagi karena asyiknya ber-khalwat. Dalam penejelasanya Ghazali memilih turun gunung lagi karena dia sudah melihat bahwa umat ini sudah terlalu mundur dan belum ada mujaddid di abad itu. Begitu juga renungan dia bersama ulama-ulama lain disekitarnya yang juga telah mengalami musyahadah-mukasyafah, yang kemudian memutuskan bahwa Ghazali lebih baik keluar dari uzlahnya dan kembali membimbing umat. Dia tidak boleh egois hanya dengan memikirkan dirinya sendiri dengan tetap berkhalwat.
Dari proses tafakkurnya, dia melihat kerusakan umat yang disebabkan setidaknya oleh hak berikut:
a.       Berkembangnya ilmu filsafat yang salah dan mendorong orang untuk berkehidupan sekuler dan menyepelekan agama.
b.      Berkembang beberapa bentuk ajaran tasawuf yang menyimpang dimana ada anggapan bahwa orang yang sudah mencapai tingkat ma’rifat tidak perlu lagi menjalankan ibadah lahir.
c.       Ajaran batiniyah yang meragukan orang dapat mengetahui kebenaran dan karenanya diperlukan imam/ guru ma’shum yang melaluinya diperloeh kebenaran
d.      Para ulama dan pemimpin agama sendiri yang tindakanya tidak sesuai dengan agama yang diwakili. Pun begitu juga politikus yang menyelewengkan agama islam.
Dengan dibantu dan didukung oleh penguasa Naisapur ketika itu, Ghazali mulai mengajar, berdakwah, dan mengobati penyakit umat sebagaimana yang telah ia jelaskan di atas. Obat dari penyakit umat ini ia tuliskan dalam beberapa kitab seperti al-Qisthas al-mustaqim, kimiya’ as-Sa’adah, dalam kitab ini, dan kitab lainya. Hal ini dilakukan hingga akhir hayatnya pada 505/ 1111 M. Cerita yang unik dari proses meninggalnya Sang Imam adalah, konon, dia sempat mengalami mukasyafah tentang waktu meninggal dirinya, sehingga dia sudah mempersiapkan semuanya dan bahkan dia sempat mandi junub sebelum dia meninggal. Wallahu a’lam. 




Posting Komentar untuk "Ngaji Munqidz al-Ghazali; Tasawuf dan Jalan Kebenaran (Bag 4-Terakhir)"