Antara Cerai, "Kelon", dan Fikih: Nggak Ikut Kelon Tapi Dapat Dosa Kelon

Kemarin, waktu ngaji Youtube Gus Baha (Ya Allah mugi-mugi panjenengan paring Panjang umurnya orang alim), beliau menjelaskan mengenai Sighat Talak (Ucapan yang berujung pada perceraian). Dimana perceraian itu adalah wilayah yang harus jelas hitam dan putih, dan nggak boleh ada daerah abu-abu. Karena taruhanya setidaknya ada dua hal:

1.      1. Jika ternyata secara syariat ucapan suami telah mencerai si istri, maka hukumnya haram untuk berhubungan. Dan jika si ustadz justru bilang “kalian belum bercerai”, maka jika mereka berhubungan badan, jatuhnya adalah hukum perzinaan. Sialnya, bisa jadi si Ustadz tersebut tidak ikut “kelon” tapi ikut dosa zina.

2.       2. Dan jika ternyata ucapan si suami tersebut tidak berlaku cerai, akan tetapi si Ustadz salah menguhukumi dan mengatakan “kalian telah bercerai”, maka jika si istri tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, statusnya adalah si istri menikah ketika masih memiliki suami. Nikahnya bisa jatuh ke akad yang fasad (rusak).

Mudahnya, ucapan cerai dari seorang suami dibagi menjadi dua, yaitu;

1.       1. Jika ucapan suami ke istri itu adalah ucapan yang shorih (Jelas) seperti “Kamu saya cerai”, maka ada atau tidak ada niat, maka dia jatuh cerai. Karena lafadz-nya jelas.

2.       2. Jika ucapanya adalah kinayah (Kiyasan), seperti “balik saja sana ke bapakmu”, atau “kamu seperti bukan istriku”, maka dalam hal ini, harus dilihat niatanya. Apakah ketika suami mengucapkan itu, berniat untuk mencerai istrinya atau tidak. Jika iya, maka jatuh talak. Jika tidak, maka tidak.

Problem besar terjadi ketika di era modern ini, dimana menurut madzhab Pengadilan Agama (PA) dan juga Muhammadiyah, perceraian baru sah ketika diucapkan di depan PA demi kemaslahatan umat. Bayangkan, ketika suami sudah mengucapkan kalimat cerai kepada istrinya. Lalu kemudian harus di-sah-kan lewat PA. Dalam kondisi itu, PA masih berkewajiban untuk memberikan konsul dan nasehat agar “lebih baik jangan bercerai”. Padahal, secara akad, suami-istri tersebut sudah bercerai. Secara Fikih, jika si Hakim berhasil menasehati suami-istri tersebut, dan kemudian malam harinya mereka bersetubuh, maka bisa jadi ‘Hakimnya nggak ikut kelon, tapi dapat dosa kelon”.

Kalau Hakimnya orang Syafi’iyah, kira-kira bagaimana menanggapi hal-hal kaya gini ya?

 


Posting Komentar untuk "Antara Cerai, "Kelon", dan Fikih: Nggak Ikut Kelon Tapi Dapat Dosa Kelon"