Dari Baghdad hingga Muhammadiyah

 Dari Baghdad hingga Muhammadiyah

Era kemunduran Islam di masa lalu, dimulai sekitar tahun abad keempat Hijriah hingga runtuhnya Baghdad sekitar 972 M-1258 M, ditandai dengan perpecahan politik dimana satu dinasti mentakeover dinasti lain. Buwaihi vs Seljuk, Fatimiyah vs Ayyubiyah, dll. Dinasti Abbasiyah kala itu, hanya menjadi simbol saja. Ketidakstabilan politik ini, membuat umat Islam kala itu melemah di berbagai aspek, termasuk dunia akademik. Dari era sebelumnya, yaitu era para mujtaid dan kematangan berfikir, menjadi era para muqallid dan fanatisme. From powerful to powerless. Belum lagi ditambah dengan perang salib. Syekh Ali Sais menyebutkan, setelah tahun 310 H/ 923 M dengan wafatnya Imam Tabari tidak ada lagi nama yang sampai ke level mujtahid yang mampu mengambil hukum dari al-Quran dan Sunah tanpa bergantung dengan cara berfikir Imam Madzhab. Hampir semuanya sibuk dan menjadikan perkataan Imam Madzhab sebagai “pengganti” nash itu sendiri. Taqlid dan fanatisme buta menjadi symbol era ini, hingga kemudian munculnya istilah pintu ijtihad telah tertutup. (Disarikan dari Tarikh Fikh al-Islami syekh Ali Sais). Meskipun banyak yang memandang negatif era ini, tapi Wael Hallaq justru memandang positif era ini.

Zaman berlalu hingga kemudian runtuhlah Baghdad. Setelah runtuhnya Baghdad (sekitar 1258 M), peradaban dunia mulai beralih ke Eropa dan dunia muslim sejak saat itu masih mencoba menemukan pijakanya lagi hingga sekarang. Disini banyak kritikus sufi yang kemudian menjadikan aliran sufi sebagai kambing hitam dan faktor kemunduran dan kegagalan kembali islam di masa keemasan. Pun juga kemunduran ilmu pengatahuan. Karena dalam kebanyakan aliran-aliran sufi, pengikutnya justru diajarkan untuk menerima kekalahan dengan model tranvaluasi nilai. Misalnya dengan kalimat-kalimat “kalah tidak mengapa, ini hanya perlombaan dunia, biarlah orang-orang kafir yang menguasai dunia, tapi kita yang akan mendapatkan akhirat“, atau kata-kata seperti “tidak mengapa kita miskin di dunia, yang penting kita kelak bisa masuk surga“. Selain itu sifat yang aslinya adalah “rendah diri“, dibela dan diartikan sebagai “rendah hati“, percaya pada kemampuan sendiri diartikan sebagai bentuk kesombongan. Ketika kalah dan dijajah, yang diajarkan kepada masyarakat adalah kesabaran dan menerima hidup apa adanya (qanaah). Kalimat-kalimat seperti itu, membuat banyak muslim menjadi nyaman dengan kehidupan barunya. Kalimat-kalimat ini juga bagai morfin dan candu yang mengobati rasa sakit terutama setelah kalah perang dan dijajah. Itulah salah satu sebab kenapa kemudian muncul orang-orang seperti Nietzsche ataupun Karl Marx yang konon mengatakan agama menjadi candu masyarakat. (Disarikan dari Ngaji Filsafat Dr Fahrudin Faiz)

Dalam sejarahnya, organisasi Muhammadiyah pernah mengalami hal yang mirip dengan cerita diatas. Di zaman KH Ibrahim, Muhammadiyah menerima banyak fitnah dari orang yang tidak suka dengan Muhammadiyah. Salah satunya, Muhammadiyah dituduh sebagai agen PEB (Politieka Ekonomache Boand), yaitu sebuah organisasi yang dibentuk persatuan pabrik gula Belanda. Muhammadiyah dituduh menerima dana dari PEB agar membina buruh-buruh pabrik gula dengan doktrin agama Islam yang sesuai keinginan Belanda, yaitu buruh yang rajin bekerja akan tetapi tidak banyak tuntutan, harus menerima adanya, pasrah, menerima nasib, dan tawakal atas takdir mereka sebagai buruh. Untuk keperluan itu, PEB membentuk Jam’iyyatul Hasanah yang mereka sponsori. Da’i-da’i Muhammadiyah, dianggap sebagai antek penyebar pemahaman ini. Sampai kemudian utusan Cabang Betawi mencoba mengklarifikasi hal tersebut dan KH Ibrahim mempersilahkan untuk memeriksa seluruh laporan keuangan, notulensi rapat, dan mewawancarai seluruh muballigh yang bisa ditanyai. Hasilnya, hal itu adalah fitnah semata. (Diambil dari Diktat Kuliah Kemuhammadiyahan UAD).

Posting Komentar untuk "Dari Baghdad hingga Muhammadiyah"