Hidup menjadi muslim minoritas membuat saya beberapa kali mencari-cari celah keringanan dalam kehidupan beragama. Termasuk ketika saya ditanya tentang hukum suatu perbuatan, yang awalnya saya berpendapat “tidak boleh” tapi kemudian saya mencari-cari fatwa ulama lain yang akhirnya mengatakan “boleh”. Bukan karena saya ingin cari-cari “mana yang enak”, tapi sering sekali sebuah teori tidak bisa/ susah sekali diterapkan didunia nyata. Dalam dunia hukum, guru saya dulu pernah menyebutnya dengan istilah law in vaccum (hukum yang tidak bisa/susah dijalankan).
Saya ambil contoh dengan sebuah kasus.
Ada pasangan suami-istri non-muslim. Si istri ingin bersyahadat, tapi suaminya tidak mau. Sedangkan dalam banyak fatwa, kalau istri muallaf dan suaminya tidak, maka secara otomatis pernikahan mereka bubar. Padahal istri ini sudah hidup lama dan bahagia dengan suaminya. Mereka juga saling mencintai satu sama lain. Apalagi mereka sudah punya anak, dan kalau si istri jadi muallaf, maka dia harus pisah dari anak-anaknya, dan bahkan bisa kehilangan hak asuhnya. Karena takut dengan konsekwensinya, maka si istri berfikir ulang apakah jadi mualaf atau tidak. Menurut anda bagaimana?
Sebelum mendapatkan pertanyaan itu secara langsung, saya termasuk yang mengambil pendapat “Jika suami tidak mau bersyahadat, maka pernikahan mereka bubar”. Tapi setelah mengalaminya secara langsung, ya ternyata saya tidak bisa menjawab. Karena logika saya mengatakan ‘bubar”, sedangan hati saya mengatakan, “Ah masa iya sih harus bubar? Nanti kalau si istri nggak jadi islam gara-gara omonganku, bisa tambah gawat itu.“ Pada akhirnya, saya buka-buka lagi bukunya, dan alhamdulillah ketemu di bukunya Syekh Yusuf al-Qardhawi, yang intinya bilang “pernikahan mereka boleh dilanjutkan meskipun si wanita menjadi muslimah dan si suami non-muslim”.
Fatwa Syekh al-Qardhawi (dan beliau mengambil pendapat Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimiyah) ini memang kurang masyhur dan bisa dikatakan menyelisihi 4 madhzhab. Tapi menurut saya ini realistis. Beliau menyandarkan pendapatnya pada qadha-nya Umar RA ketika menangani kasus serupa, dimana beliau mengatakan “terserah si wanita, kalau mau, dia bisa meminta pisah, atau dia bisa melanjutkan pernikahanya”. Dan yang lebih kuat lagi adalah dalil dari perbuatan Nabi. Ketika itu nabi mempunyai menantu non-muslim dari anaknya Zainab. Akan tetapi, nabi tidak memisahkan mereka, dan justru mengembalikan Zainab kepada suaminya (Abi al-Ash). Setelah suamiya muallaf, nabi juga tidak memperbaharui akad nikah. Adapun ijma‘ tentang haramnya nikah antara muslim dan kafir, pada dasarnya adalah larangan untuk yang belum menikah. Sedangkan bagi mereka yang sudah menikah, dan kemudian salah satunya muallaf, maka dalil yang digunakan adalah kasus dimana nabi tidak menikahkan ulang seluruh pasangan suami-istri yang masuk Islam.
Dulu saya pernah mendengar penjelasan Prof Syamsul mengenai jenis “Sunnah tarkiyah“, yaitu jenis perbuatan yang dia merupakan sunnah nabi karena nabi tidak melakukanya. Dalam pemahaman saya, “tidak memperbaharui akad nikah non-muslim yang menjadi muallaf“ adalah salah satunya. Karena dalam cerita fath Makkah dan banyak cerita tentang berbondong-bondongnya orang kafir masuk ke Islam, tidak ada satu riwayat (atau setidaknya saya pribadi belum menemukan), dimana nabi memperbaharui akad nikah mereka. Kalau ada, pasti banyak sekali berhamburan hadis mengenai ini. Wallahu a’lam.
Posting Komentar untuk " Hidup Minoritas: Istri muallaf sedangkan suami tidak, apakah pernikahan mereka batal?"