Ada banyak persoalan agama, yang jika kita telaah lebih dalam, akan bersinggungan dan bahkan berseberangan dengan kemajuan sains. Contohnya, dalam penentuan awal bulan qamariyah, yaitu dalam permasalahan rukyat hilal. Apakah hilal harus benar-benar terlihat dengan mata kepala, ataukah cukup dilihat dengan ilmu pengetahuan? Pendukung 4 madzhab yang di Indonesia secara mayoritas diwakili kelompok NU, berpandangan bahwa hilal awal bulan harus terlihat dengan mata kepala. Hal ini didasarkan pada hadis:
“Berpuasalah kamu
ketika melihat hilal, dan berbukalah (idul fitri) ketika melihat hilal“.
Kata melihat
(dalam hadis menggunakan kata ra’a-ru’yah), diartikan sebagai melihat dengan
mata kepala. Sedangkan kaum modernis yang mana di Indonesia diwakili oleh
kelompok Muhammadiyah, lebih cenderung mengartikan sebagai „melihat dengan ilmu
pengetahuan“ (ilmu hisab). Mereka berpendapat bahwa asal data hitungan hisab
sudah menunjukan hilal ada/ sudah di atas ufuk, maka dia sudah terlihat/
visible. Tentu terlihat disini bukan bermakna terlihat dengan mata kepala, tapi
terlihat dengan ilmu hisab.
Disini terlihat
bagaiamana sains sangat bersinggungan dengan masalah keagamaan dan bahkan
berseberangan dengan salah satu doktrin keagamaan.
Dalam kasus ini, kelompok
pertama (dan yang sepakat) mengatakan, bahwa hilal harus dilihat dengan mata
kepala (ru’yah) karena hal itu adalah syarat sah-nya puasa. Hal ini bersifat ta’abbudi
(ibadah). Ta’abbudi artinya bersifat doktrinal dan menjadi sebuah keharusan. Tanpanya,
puasa tidak sah. Tapi kelompok kedua mengatakan bahwa ru’yah hanyalah salah
satu metode (wasilah) untuk mencapai tujuan. Adapun tujuan intinya yaitu
melihat apakah bulan sudah wujud atau belum. Wasilah bisa banyak, salah
sataunya dengan ru’yah, dan tentunya juga bisa dengan hisab (ilmu pengetahuan).
Itu baru satu hal.
Ada banyak hal
yang juga menjadi problem ketika doktrin agama bertemu dengan sains. Dua hal
yang sekarang sedang mampir di otak saya adalah:
1.
Masalah iddah perempuan (masa tunggu ketika
perempuan bercerai dengan suaminya, baik cerai hidup/ cerai mati). Untuk cerai
hidup (talak 1 dan 2), iddah bertujuan untuk memberikan kesempatan sebuah
keluarga rujuk kembali. Adapun dalam kasus cerai 3 kali dan juga cerai mati,
maka tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa rahim perempuan benar-benar bersih
dan tidak ada anak dari suami pertama. Masalahnya sekarang, ada banyak
teknologi untuk membuktikan hal ini tanpa harus menungu iddah 3 bulan. Harganyapun
murah. Yaitu Tespack. Status rahim perempuan bisa diketahui tanpa harus menunggu
3 bulan berdiam diri di rumah. Dengan logika seperti ini, maka masa iddah sebenarnya
tidak lagi diperlukan. Dan kalaupun ternyata dia hamil, iddah perempuan sebenarnya
tidak harus menunggu sampai melahirkan, karena sudah ketahuan siapa bapak aslinya.
Dengan wanita boleh menikah, maka justru kehidupanya bisa lebih terjamin. Tapi,
lagi-lagi kalau alasan yang mau dipakai adalah “ini masuk ke ranah ta’abbudi“, maka
ya sudah. Saya pribadipun menerima dengan landasan keimanan.
2.
Yang lebih kontroversial lagi, perihal poliandri. Istri
bisa memiliki banyak suami. (Tentu saya tidak setuju dengan poliandri, ini
hanya murni perjalanan akademisi yang lagi gatel). Dalam masalah ini, yang menjadi
salah satu sebab larangan poliandri adalah ketercampuran nasab, dimana hal itu
sekarang sudah bisa diselesaikan dengan adanya test DNA. Memang ada sebab-sebab/
hikmah yang lain, tapi pertanyaanya adalah “jika sebab yang lain ini juga tereliminasi,
apakah itu berarti poliandri diperbolehkan?“ Kecuali jika yang mau dipakai
adalah lagi-lagi dalil „ta’abbudi“.
Sebenarnya masih ada beberapa hal lagi, tapi untuk sementara ini dulu saja.
Semoga Allah mengampuni saya yang punya pikiran seperti ini. Ala kulli Allah
maha tahu segalanya.
Posting Komentar untuk "Agama dan Sains"