Argumen Otoritas

 Beberapa kali ketika saya beradu argumen terutama mengenai permasalahan agama, dan ketika pendapat saya berbeda dengan imam madzhab, maka argument saya akan dimentahkan lawan dengan argument otoritas. Mudahnya dengan kalimat “kamu itu siapa dibandingkan dengan ulama 4 madzhab”, “Memangnya kamu sudah hafal al-Quran dan Hadis sebagaimana Imam Syafii ketika umur 9 tahun?”, atau kalimat nyinyir “Wah lulus S1 di universitas ini sudah diajari menjadi mujtahid mutlak, bukan main”.

Argumen otoritas seperti ini, dulu saya juga pakai. Tapi seiring berjalanya waktu dan belajar, saya memilih untuk tidak memakai argument seperti itu lagi, dan lebih fokus kepada isi argument-nya. Fokus pada apa yang dibicarakan dan apa argumenya daripada mengenai siapa yang berbicara. Kalau meminjam kata (yang konon) kalam Imam Ali “undzur ma qola, wa la tanzur man qala“ (lihat apa yang dibicarakan, dan jangan lihat siapa yang bicara).

Menurut saya, argumen otoritas seperti itu hanya cocok dipakai untuk menjelaskan suatu hal kepada orang awam yang memang membutuhkan jawaban singkat dan praktikal. Kalau ke awam, cukuplah kita bilang, “Imam Syafi’i membolehkan”. Tak perlu pakai dalil. Itu sudah cukup. Tapi untuk debat ilmiah antar pembelajar, tentu yang seperti itu ya tidak wajar. Kenapa? Karena argument otoritas cenderung mematikan akal. Membuat akal malas berfikir. Saya pribadi mengalami fase dimana setiap ada persoalan agama, saya harus selalu membaca kitab madhzab mencari argumen otoritas, dan jika pendapat yang secara logika saya tidak ditemukan dalam 4 madzhab, maka saya akan stres dengan sendirinya. Saya tidak berani mengungkapkan pendapat saya. Karena otak saya terlatih untuk taklid, yaitu pendapat saya kemukakan harus ada cantolanya kepada 4 madzhab. Jika tidak maka salah. Dan menurut saya, cara berikir seperti ini sangat tidak sehat dan justru mematikan kreatifitas akal saya sendiri. Dan membuat saya tidak percaya diri untuk memiliki pendapat pribadi.

Mengkritik pendapat Imam Madhzab bukan berarti tidak menghormati beliau. Karena jika logikanya seperti itu, ilmu-ilmu dalam Islam akan runtuh. Toh, jikapun pendapat para imam yang benar, dan pendapat mahasiswa S1 ini salah, pasti pendapat itu akan tenggelam dengan sendirinya. Survival of the fittest. Pendapat yang sesuai, akan bertahan. Harusnya keberanian berfikir, keberanian untuk kritis, berani salah, dan bangkit lagi, haruslah diapresiasi. Itu menunjukan kita yang mau berproses, dan bukan hanya membebek. Lagian, justru dengan mengkritik itu, berarti kita mengkaji kalimat sang Imam. Dan dalam dunia ilmiah, inilah bentuk penghormatan itu. Madzhab klasik tentu tetap menjadi rujukan. Tapi rujukan, bukan berarti harus mematikan kreatifitas berfikir kita sebagai manusia. Cogito Ergo Sum (Aku berfikir, maka aku ada)!

Pada akhirnya, taqlid itu memang sebuah keniscayaan, tapi ijtihad harus tetap dijalankan.

Posting Komentar untuk "Argumen Otoritas"