Belajar Filsafat adalah belajar untuk mengenal batas. Batas untuk tidak dilanggar. Karena keitka batas itu dilanggar, maka cara berfikir kita akan berantakan dan cenderung tidak konsisten.
Seperti teori emanasi
ala ibnu Sina dan al-Afarabi ketika keduanya mencoba menjelaskan proses
terjadinya alam semesta. Mudahnya alam semesta ini ada dikarenakan ada pelimpahan
atau pancaran dari Tuhan itu sendiri. Ketika Tuhan wujud, dengan sifatnya dan
kekutanya kemudian terjadi pelimpahan wujud kepada makhluk-makhluk yang lain di
berbagai level. Tuhan disini dianalogikan sebagai akal pertama, dari sana
kemudian muncul maujud (sesuatu yang ada) selain tuhan itu sendiri, yaitu wujud
kedua yang memiliki substansi seperti nur muhammad dan juga jiwa, lalu dari
wujud kedua, muncul wujud ketiga, yaitu langit-langit dan bintang, dan seterusnya,
hingga akal kesepuluh. Tapi kenapa hanya sampai akal kesepuluh? Hal ini
ternyata diserupakan dengan jumlah planet/ bintang yang tampak dan terdeteksi di
zaman itu. Ada sedikit setuhan astrologi disini. Maka bagi pembelajar
era modern seperti kita, disinilah poin kita mengatakan “good bye” pada teori
emanasi. Karena memang sudah tidak masuk akal lagi. Disinilah batasanya.
Nah sekarang saya memiliki problem, dalam pandangan
feminisme, meskipun al-Quran dengan tegas dan spesifik mengatakan bahwa
laki-laki: perempuan adalah 2:1 tapi lewat tafsir hermentik, hal seperti ini
bisa diintepretasikan ulang menjadi 1:1, atau model pembagian yang adil lainya.
Disini meskipun masih agak berat,
saya masih bisa menerima. Tapi kemudian feminis menyasar isu homosexual, dan
bahkan tokoh feminis islam Indonesia musdah mulia mengatakan bahwa “lesbian
yang bertawa akan lebih mulia disisi Allah“. Tentunya dia adalah orang yang
sama yang mengatakan tentang kesetaraan dalam pembagian waris. Model interprestasipun
juga menggunakan metode hermenetik.
Pertanyaan bagi
saya pribadi adalah, dalam hal ini “batas untuk jangan dilanggar”-nya dimana? Disatu
sisi, demi keadilan, tafsir hermenetik bisa memperjuangkan keadilan gender,
tapi dengan metode yang sama lesbian menjadi nilai yang harus diapresiasi. Metode
tafsir hermenetik sebagai pisau analaisi justru menjadi pisau bermata banyak.
Semuanya disayat. Semua jadi serba relative.
Posting Komentar untuk "Belajar Filsafat: Belajar Mengetahui Batas"