Muslim Feminis: Antara kewajiban dan hak seorang istri

Muslim-muslimah feminisit selalu komplain dan berteriak keras mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak wanita. Seolah-olah islam (atau dalam hal ini semua produk fikih klasik) itu memang tidak adil terutama kepada perempuan. Mulai dari waris perempuan 2:1, lalu kemudian kewajiban istri melayani suami, ketaatan seorang istri kepada suami, hak talak suami, hak poligami suami, dll. Yang saya sebut ini memang hanya dalam kasus yang berkaitan dengan hukum keluarga. Adapun selain itu, tentunya juga banyak sekali komplain para feminis mengenai perlakuan fikih klasik terhadap wanita yang dianggap tidak adil.

Memang harus diakui ada hal-hal dalam fikih klasik yang kurang pas dengan semakin berkembangnya zaman. Karena memang hukum sering berubah karena adanya perubahan zaman dan tempat. Tapi menurut saya, salah satu masalah besar dari cara pandang activist feminis terhadap hubungan suami-istri adalah orientasi mereka yang melulu membahas soal hak (right). Sudut pandang yang diapakai adalah human right (hak asasi manusia) tanpa mempertimbangan kewajiban asasi manusia, atau dalam kasus suami istri, yang selalu dijadikan masalah adalah hak istri saja, tanpa mau mengambil perspektif kewajiban istri.

Contoh, kewarisan 2:1 antara laki-laki dan perempuan. Feminis selalu hanya melihat hak yang diterima perempuan lebih sedikit tanpa mau tahu bahwa hak waris itu berkaitan dengan kewajiban laki-laki untuk memberi nafkah (kepada pasanganya, anak-anaknya, orangtuanya dan juga saudari perempuanya yang tidak mampu) yang diwajibkan baik secara agama maupun sosial. Kalau saya pribadi, sah-sah saja kalau memang feminism mau minta hak waris sama, tapi mereka juga harus konsisten. Maksudnya, mereka juga harus berani ngomong bahwa jika wanita mendapat hak waris sama maka dia juga mendapatkan kewajiban yang sama. Disini berarti si wanita/ istri juga memiliki kewajiban memberi nafkah baik secara sosial dan juga secara agama. Kalau istri tidak memberi nafkah maka dia BERDOSA, dan secara hukum sosial dia bisa dianggap sebagai wanita tak bertanggungjawab atau bahkan sampah masyarakat. Karena menafkahi keluarganya saja tidak bejus. Sebagaimana ketika ada seorang suami tidak mampu atau tidak mau menafkahi keluarganya. SAMPAH. Apakah feminis mau? Kalau mau sih, saya juga yes-yes saja.

Feminis juga menggugat bahwa ketika suami memaksa berhubungan badan dengan istri sedangkan istri tidak setuju, maka ini masuk marital rape (pemerkosaan dalam pernikahan)! Oke, ya nggak papa juga. Tapi, apakah feminism mau juga mengatakan bahwa istri yang memaksa nafkah uang dari suami sedangkan suaminya tidak mau, berarti dia sedang merampas harta suami? Keluarga kok isinya kalau nggak rampok ya pemerkosa. Mending bubar aja!

Satu hal yang mendasar yang saya masih bingung ketika mempelajari teori feminis dalam hal hukum keluarga islam, yaitu pertanyaan saya “Dengan segala tuntutan feminis untuk “memerdekakan“ wanita dalam hungan suami-istri, lalu menurut para feminist apa yang menjadi kewajiban istri kepada suami?“

Karena saya melihat, feminis mencoba mendobrak semua kewajiban istri (yang merupakan hak suami) dengan dalih sub-ordinasi dan budaya patriarky, yang ujung-ujung, menjadikan istri tidak mempunyai kewajiban sama sekali.

Dalam fikih klasik kewajiban istri (hak suami) itu gampang:

1.      Istri taat pada suami dalam hal yang diperbolehkan agama. Dimana oleh feminis hal ini ditolak karena bentuk subordinasi dan tidak ramah gender.

2.      Istri melayani suami. Dimana oleh feminist ini juga ditolak karena bentuk ketidak setaraan gender. Bahkan dalam masalah permintaan suami berhubungan badan yang tidak seizin istri, suami layak kena pasal KDRT dan dipenjara.

3.      Dan kewajiban yang lainya, yang kalau dilihat jeli, feminis banyak yang menolaknya.

Sialnya, feminis tetap minta agar para laki-laki dan para patriarki ini untuk tetap berkewajiban memberi nafkah harta kepada istri dan juga membayar mahar. Tidak hanya feminis, bahkan tatanan sosial kita akan mencap laki-laki yang tidak mampu atau tidak mau memberi nafkah kepada istrinya sebagai laki-laki tidak bertanggungjawab, laki-laki tidak becus, dan juga sampah masyarakat. Label ini, tentu tidak berlaku bagi perempuan!

Saya tidak menolak ide feminisme. Beberapa idenya tetap menarik dan hebat. Tapi kita harus belajar menarik garis demarkasi mengenai mana yang harusnya kita dukung dan mana yang tidak.

Chivalry is dead, feminist killed it!

Posting Komentar untuk "Muslim Feminis: Antara kewajiban dan hak seorang istri"