Kata Gus Baha, watak itu sifatnya saling mencuri/ mempengaruhi. Watak kita adalah hasil dari pengaruh orang-orang sekeliling kita. Orang yang biasanya dermawan biasanya karena sekelilingnya adalah orang yang dermawan. Begitu juga sebaliknya. Contoh sederhana dan lumrah terjadi adalah budaya “nyumbang” ketika tetangga ada hajatan. Mulanya budaya ini adalah budaya gotong royong meringankan beban tetangga yang hajatan. Yang bisa bantu beras, bantu beras. Yang punya teh dan gula, bantu teh dan gula. Yang bisanya bantu tenaga, bantu dengan tenaga. Tapi, lama kelamaan, budaya ini menjadi budaya transaksional. Dimana kebanyakan penyumbang memilih untuk menyumbang uang dengan alasan biar nggak repot mikir, nggak repot bawa, dan si penerima lebih fleksibel membelanjakanya.
Disini, watak pelit dan perhitungan mulai bermunculan. Kalau saya nyumbang 100.000 pada si A, berarti besok ketika saya ada hajatan, si A diwajibkan secara sosial untuk nyumbang 100.000 kepada saya. Atau dalam pengalaman saya, (dimana saya baru paham ketika ibu ngajari ilmu sosial ini ke saya) “secara sosial, kalau kita dikirimi ayam satu ungkep utuh, berarti kita diharapkan (diwajibkan) secara sosial untuk nyumbang uang dengan nilai yang lebih banyak dari uang ayam itu”. Itu diktat sosialnya. Menyumbang harus dikasih amplop dengan dibubuhi nama. Kemudian dicatat, dan kelak akan dikembalikan lagi jika ada kesempatan. Bahkan dalam beberapa kesempatan tak segan-segan uang sumbangan dibacakan sebagai bentuk “flexing” status sosial.
Peralihan model budaya “tolong menolong” ke “nyumbang transaksional” ini tak lepas dari kenyataan bahwa watak itu saling mempengaruhi, apalagi watak yang diamini oleh nafsu setiap manusia untuk menumpuk harta banyak. Bayangkan saja, jika anda adalah orang yang terbiasa nyumbang murni untuk membantu teman, tapi lingkaran sosialnya selalu mengatakan “wah rugi kalau nyumbang 300.000, tapi pas pulang cuma dapat nasi kotak satu, harusnya dapat tiga”. Ide seperti ini seperti racun, anda tak sadar, tapi masuk ke alam bawah sadar, dan akan muncul di momen yang pas. Kapan? Contohnya pas anda butuh uang untuk hajatan lalu muncul kekecewaan “wah dulu aku nyumbang ke dia 300.000, kok dia cuma nyumbang 100.000”. Atau “wah kok si fulan nggak nyumbang sama sekali ya, padahal dulu aku nyumbang ke dia”. Otaknya kena racun pelit.
Tahaddus bin ni’mah, saya termasuk beruntung dilahirkan dengan melihat orang tua yang menurut saya selalu berusaha membantu orang lain. Wasiat bapak saya yang selalu diulang-ulang kepada saya dan anaknya termasuk anak asuhnya adalah wasiat untuk menolong orang lain. Seperti hal simple yang dicontohkan bapak ke saya, sediakan bensin di botol, kalau-kalau ada motor macet kehabisan bensin. Kalau bawa mobil, ada orang jalan, tawari untuk naik bareng. Kalau nyumbang dan memungkinkan, tidak perlu menuliskan nama. Kalau ada orang yang meninggal, usahakan datang pertama menawarkan bantuan. Diam-diam bayarkan SPP orang yang tidak mampu, Dll. Ini bukan untuk pamer, tapi hanya tahadduts bi ni’mah.
Saya orang Muhammadiyah, tapi saya berpendapat bahwa pahala bacaan al-Quran bisa sampai ke pada mayit. Buat bapak, lahu al-fatihah.
Posting Komentar untuk " Jangan suka berteman dengan orang pelit"