Banyak yang menuduh pemikiran sang Imam sebagai biang keladi mundurnya pemikiran Islam. Tapi benarkah demikian? Ataukah klaim ini salah? Atau jangan-jangan, memang ada benarnya dan ada salahnya? Disini, saya berpendapat bahwa klaim itu tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Kenapa demikian?
Kita mulai dari petualangan Sang Imam dalam mencari
apa itu “kebenaran sejati”.
Konon, Sang Imam sakit berminggu-minggu “hanya” karena
tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Awalnya dia berfikir bahwa panca
indra lah yang mampu mengantarkan kita menuju kebenaran. Eureka! Dengan metode
empirik ini bangunan keilmuan kita pasti bisa memiliki pondasi yang 100% benar
dan kokoh. Seperti bangunan, setelah ketemu pondasi yang 100% kokoh dan benar,
kita bisa membangun ilmu di lantai kedua, ketiga, dan seterusnya. Sayangnya,
hal itu justru disanggah oleh Sang Imam sendiri. Dia seolah bilang “tapi kan
panca indra ini sering sekali menipu kita, berapa kali kita lihat barang yang
jauh, ternyata dekat, melihat matahari mengelilingi kita, ternyata tidak,
melihat dia perhatian, ternyata dia hanya butuh traktiran makan”. Panca Indra
tidak bisa dijadikan pijakan kebenaran!
Setelah membatalkan panca indra, Sang Imam memiliki
momen eureka lainya “kalau tidak dengan panca indra, maka kita bisa menggunakan
akal (rasionalism) untuk mencari kebenaran”. Dengan metode rasionalism
ini bangunan keilmuan kita pasti memiliki pondasi yang 100% benar dan kokoh.
Tapi lagi-lagi hal itu justru disanggahnya sendiri. Dia seolah bilang “tapi-kan
akal juga sering menipu kita, bukahkah kita sering yakin dengan sebuah
kejadian, tapi ternyata itu hanya mimpi dan khayalan? Kadang apa yang menurut
kita penting, ternyata tidak, kita pikir dunia ini segalanya, tapi di akhirat,
ternyata semua itu sia-sia, kita pikir dia mau menjalin silaturahim serius,
ternyata dia cuma mau pinjam seratus. Akal, tidak bisa dijadikan pijakan
kebenaran!
Memikirkan hal tesebut, beliau sakit, berminggu-minggu.
Jika panca indra dan akal tidak bisa dijadikan pondasi ilmu dan kebenaran, lalu
apa? Bagaimana kita 100% yakin kita benar dan kita ini nyata? Jangan-jangan
kita sekarang sedang bermimpi? Dan segala pertanyaan lainya.
Sampai suatu ketika, Sang Imam mendapatkan ilham untuk
menjawab hal ini. Ilham. Ya, jawabanya adalah ilham atau yang beliau sebut
sebagai Cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi yang semua itu dapat diperoleh seorang hamba
dari sebuah metode kasyaf (penglihatan batin). Mudahnya, “tidak ada yang
lebih benar dan lebih ultimate daripada ilmu yang langsung datang dari Allah
sendiri”.
Mari kita stop sejenak, dan beralih ke Barat sekitar
tahun 1650an. Kejadian yang serupa menimpa seorang sarjana bernama Rene Descartes.
Krisis intelektual Descartes dalam hal ini adalah untuk menjawab pertanyaan
“Bagaimana seseorang bisa tahu bahwa dirinya benar-benar nyata dan bukan hanya
sekedar dalam mimpi atau simulasi?” Mirip sekali dengan kegalauan Imam Ghazali bukan?
Akhirnya munculah adagium yang terkenal “Cogito ergo sum” (Aku berfikir,
maka aku ada). Pikiranya, menggemparkan Eropa, menyumbang suksesnya Revolusi
Perancis yang kemudian melahirkan renaissance. Sialnya bagi Imam Ghazali,
pikiran yang sama justru diklaim membuat kemunduran umat Islam oleh muslim
sendiri.
Meskipun demikian, saya tidak mentah-mentah menolak
klaim bahwa pikiran Imam Ghazali membuat peradaban Islam mundur. Mungkin ada
benarnya. I argue (yak elah!), tiga step untuk mencari kebenaran ala Sang Imam
(panca indra, akal, ilham/ kasyaf), memang sedikit bermasalah. Bukan step-nya
yang bermasalah, tapi bagaimana pengikutnya menggunakan tiga step tersebut yang
bermasalah. Sebagaimana kita ketahui, Sang Imam, menjadikan kasyaf sebagai cara
terbaik mencari keilmuan. Tapi yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa Sang
Imam sendiri adalah orang yang sudah khatam dalam ilmu panca indra dan ilmu
akal. Artinya beliau ahli ber-argumen dengan indrawi (empiric), mahir ber-argumen
dengan ilmu rasional, dan layak dan saint (suci) menggunakan kasyaf
sebagai pengetahuan. Disisi lain, para Ghazalian, justru banyak yang
memilih meninggalkan “ilmu panca indra” dan “ilmu akal” karena merasa bahwa
ilmu ter-ultimate adalah ilmu kasyaf.
Dari observasi subjektif saya pribadi, saya sering
melihat dan mendengar mereka yang selalu berbicara dan mengagung-agungkan kasyaf
sebagai “argumen kebenaran”. Ilmu hakikat mereka bilang. Adapun yang masih
menggunakan argumen indrawi dan argument rasional diklaim terhijab
(terhalang) dari ilmu hakikat ini. Yang buat double sial adalah, ilmu kasyaf
ini benar-benar subjektif pribadi. Maksudnya, tidak ada yang bisa membuktikan
bahwa seseorang itu benar-benar kasyaf atau hanya mengklaim dirinya kasyaf.
Atau bahkan jika setanlah yang mengelabui dia seolah-olah sedang kasyaf. Maka
jika ada orang yang sudah dianggap soleh, apalagi wali, lalu mengklaim telah kasyaf,
maka itulah kebenaran. Disini ilmu ultimate (kasyaf) justru dipersalah-gunakan
oleh banyak orang untuk melegitimasi “kewalian” dirinya atau orang lain.
Sedikit-sedikit orang disebut wali. Baik dikit, wali. Aneh dikit, wali.
Gondrong dikit, wali. Akhirnya efek domino bertebaran dimana-mana. Kalau sudah
dikenal sebagai wali, maka semua taat. Ucapan “wali” yang bertentangan dengan
indra dan logika, dianggap “kasyaf” dari Allah. Panca indra dan logika,
lagi-lagi dianggap hanyalah hijab (penghalang). Ditambah doktrin bahwa
“mengkritisi seorang guru itu tidak beradab”, maka tambah mutlaklah “kebenaran”
ini. Anda masih ingat kejadian seorang anak tokoh agama yang mengklaim punya semacam
ilmu kasyaf lalu dipakai untuk melakukan aksi tidak senonoh kepada
murid-muridnya? Pas mau ditangkap polisi, murid-muridnya membuat benteng “siap
mati” demi melindungi “Si Paling Kasyaf”. Kejadian ini hanyalah pucuk dari gunung
es.
Granted, bahwa ilmu itu adalah ilmu “ultimate”. Tapi
dia justru jadi pisau bermata dua bagi umat Islam sendiri. Ibarat kata,
ayat-ayat al-Quran tapi dipakai untuk meneror orang lain. Yang salah bukan
Quran-nya, tapi dasar orangnya saja. Dan saya yakin, mengatakan Imam Ghazali
sebagai penyebab kemunduran umat Islam, itu sebenarnya seperti bilang al-Quran kitab
terror. Bukan alatnya yang salah. Tapi yang make memang tidak tepat.
Akhirnya, banyak Muslim mencoba yang ingin memperoleh
“ilmu ultimate” ini dengan konswekensi meninggalkan (atau tidak fokus) dengan
dua ilmu lainya. Bagaimana caranya? Yang saya tahu adalah dengan usaha maksimal
mensucikan hati. Perbanyak wirid, puasa, shalat, dan amalan lain-nya yang
mendekatkan diri kepada Allah. Disinilah nilai positif dari usaha mencari ilmu
kasyaf ini, orang semakin beruasaha untuk menjadi soleh, rajin ibadah, dan
menyucikan hatinya dari keburukan. Mencoba untuk selalu khusyuk. Tapi, ini juga
ada efek negatifnya, seperti adagium yang terkenal dari Kyai Maimun Zubair
“Zaada khas’an, zaada jahlan”. Tambah khusyuk, justru tambah bodoh. Kenapa? Banyak
yang ahli ibadah, tapi nggak suka berfikir dan belajar. Contoh mudah, ibadah
puasa tentu baik. Juga bisa membersihkan hati. Tapi suka tidak suka, puasa itu menjadikan
orang mudah lemes. Otak sulit berfikir, apalagi belajar. Disini, “banyak
ibadah” adalah jalan untuk melepaskan diri dari tuntutan “belajar dan
berfikir”. Hatinya boleh jadi bersih, tapi sayangnya otaknya juga “bersih”. (Sebelum
anda su’uzan dengan argument saya, fyi, ini adalah kaidah umum untuk orang pada
umumnya. Dan setiap kaidah umum, selalu ada pengecualian. Maka, jika anda berpuasa/
banyak ibadah, tapi belajarnya justru semangat, anda adalah pengecualian. Atau
mungkin anda sedang dikejar deadline :D).
Lalu Bagaimana?
Saya kemarin membaca sebuah tulisan di facebook, yang
membahas komentar Syekh Hasan Hito mengenai status kewalian seseorang. Dan
beliau tampak kurang suka dengan hal tersebut. Dan mengatakan kurang lebih
“kewalian itu urusan hamba dengan Tuhanya. Jangan suka dikit-dikit mencap
seseorang itu wali. Nggak baik.” Ketika membaca status ini, otak saya memang
klik dan sesuai dengan gundah gulana saya mengenai “ilmu kasyaf” ini.
Semua itu harus sesuai porsinya. Ada ilmu yang memang
harus bertumpu pada panca indra, ada ilmu bertumpu pada akal, dan ada ilmu yang
harus bertumpu pada kasyaf. Porsi hidup di dunia yang sifatnya hubungan sesama
manusia ini memang harus menggunakan ilmu dzawahir (indrawi dan akal)
yang dikawal oleh ilmu kasyaf sebagai benteng moral. Tapi utamanya adalah “kasyaf-nya”
Nabi Muhammad, yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi. Kita tidak bisa membuat pesawat
“hanya” bermodal ilmu kasyaf. Dalam melawan penjajah “kasyaf” saja, tidak cukup.
Harus ada ilmu indrawi dan rasionalnya. Tapi, ilmu indrawi dan rasional, jika
tidak dikawal dengan “kasyaf”, akan kehilangan kompas moralnya. Contohnya
adalah kasus Amerika mem-bom atom Hirosima-Nagasaki yang merupakan terorisme
dengan senjata nuklir pertama di dunia. Atau genosida di Palestina sekarang. Dalam
aspek inilah, banyak umat Islam tidak proporsional. Sedikit-sedikit kasyaf. Sedikit-sedikit,
ilmu hakikat.
Adapun (misalnya) untuk memperkuat hubungan dengan
Allah, kita latih ilmu batin kita dengan memperbanyak ibadah, dll. Itupun kasyaf
tidak bisa berdiri sendiri. Tetap harus dibentengi dengan ilmu indrawi dan
logika. Kenapa harus begitu? Supaya tidak ada yang mengklaim bahwa “ilmu kasyaf”
miliknya, bisa ditransfer dengan hubungan badan diluar nikah (ini misalnya).
Disini, jangan dibalik-balik. Mana ilmu yang harus
menjadi alat utama dan mana ilmu yang hanya menjadi pengawal saja.
Jadi, apakah pemikiran Imam Ghazali menjadi penyebab
mundurnya umat Islam? Ya silahkan anda simpulkan sendiri.
Posting Komentar untuk " Pemikiran Imam Ghazali Menjadi Sebab Kemunduran Umat? Mungkin Ada Benarnya"