Jawab Pertanyaan Ini Dulu, Baru Anda Bisa Belajar Fikih Dengan Tenang
Ada satu pertanyaan mendasar dan penting yang akan sangat mempengaruhi corak
Fikih seseorang tergantung dengan jawaban yang ia miliki. Selain itu,
keberhasilan kita menjawab pertanyaan ini akan membantu menenangkan gejolak batin
kita yang muncul ketika belajar fikih, terutama ketika membahas fikih yang terlihat
bertentangan dengan maslahat yang kita ketahui. Pertanyaan ini dianggap penting
oleh Wael Hallaq hingga ia menaruhnya di awal-awal bukunya An Introduction of
Islamic Law. Pertanyaan tersebut adalah:
“Apakah akal manusia (bahkan dalam bentuk terbaiknya) bisa mengetahui
mana yang benar-benar baik dan benar-benar buruk untuk manusia? Dan tidak hanya
untuk manusia, tapi juga makhluk hidup dan lingkungan sekelilingnya? Tidak
hanya untuk kehidupan dunia, tapi juga akhirat?”
Kenapa pertanyaan ini menjadi sangat penting?
Karena dari pertanyaan ini akan muncul dua jawaban yang pada ujungnya
bisa memiliki kesimpulan hukum yang sangat bersebrangan. Banyaknya ide-ide baru
yang bagi sebagian golongan dianggap nyleneh dan bagi sebagian golongan
dianggap progresif bisa diambil ujung masalahnya bermuara dari pertanyaan
mendasar ini. Sebagai contoh, dalam kasus pembagian waris antara anak laki-laki
dan anak perempuan. QS An-Nisa: ayat 11 menjelaskan dengan terang sekali bahwa
bagian anak laki-laki adalah 2 dan bagian anak Perempuan adalah 1. Lalu ada
beberapa cendekiawan yang mencoba membuat ijtihad baru yang menafsirkan dengan
landasan maslahat bahwa pembagian yang “baik” adalah pembagian sama rata 1:1.
Atau dalam kasus yang selalu ramai dianggap misoginis dalam QS an-Nisa:
34 yang menjelaskan bahwa dalam urusan rumah tangga “Laki-laki (suami)
adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri)”. Lalu kemudian bermunculan
tafsir-tafsir yang menentang teks ayat tersebut dengan berbagai argumen
(utamanya argumen maslahat) yang intinya suami bukan pemimpin dalam rumah
tangga.
Selain dua kasus ini, masih banyak lagi ijtihad yang dianggap progresif,
yang jika dirujuk argumenya, maka akan kembali kepada pertanyaan mendasar
mengenai “apakah akal secara independen mampu menentukan yang baik dan buruk?”.
Seperti debat mengenai LGBTQ, kebolehan poligami, menikah beda agama, menikah
dengan wanita dibawah 18 tahun, isu semua agama menuju Tuhan yang sama, murtad,
dan utamanya isu-isu keislaman yang dianggap bertentangan dengan HAM, dll.
Lalu, Apakah Akal Mampu?
Secara umum, bagi mayoritas Islam Sunni, jawabanya adalah tidak. Sebaik
apapun akal, dia tidak akan mampu mengetahui kebaikan yang hakikat dan
keburukan hakikat, tanpa adanya bimbingan wahyu. Oleh golongan Islam progresif,
golongan ini sering disebut sebagai golongan konservatif dan tradisionalis.
Bagi golongan Islam yang menganggap dirinya progresif, jawabanya adalah
mampu. Akal dengan sendirinya mampu mengetahui baik dan buruk yang hakiki tanpa
bimbingan wahyu. Oleh golongan Sunni, golongan ini sering disebut sebagai
golongan liberal/ kiri. Di Indonesia, jawaban ini dalam kurun sekitar 30 tahun
belakang, diamini oleh kelompok Islam yang memiliki latar belakang aktifis HAM,
Feminisme, dan liberal.
Dan ya, masing-masing sepertinya menggunakan taktik “bullying” dengan
memberi nama kepada lawan debatnya dengan sifat pejorative (merendahkan), seperti
Islam Liberal, Aliran Konservatif, dll. Disisi lain, mereka menyematkan nama
terbaik bagi kelompoknya sendiri, seperti Ahlu Sunnah wal Jamaah dan juga Islam
Progresif (atau terserah anda mau menyebutnya bagaimana).
Semua Jawaban ada Konsekwensinya
Bagi anda (dan juga saya) yang sudah yakin atau sudah mampu berargumen
bahwa bahwa akal tidak akan mampu mengetahui kebaikan dan keburukan yang
hakiki, maka kita harus konsekwen dengan jawaban tersebut. Artinya, jika ada teks
yang sangat jelas dan tidak multi tafsir (qat’i tsubut dan dilalah)
maka segatal apapun akal anda untuk berbeda dan menolak, maka akal harus taslim
(menyerah). Kenapa? Karena sejak awal kita meyakini dan berkesimpulan
secara ilmiah bahwa akal tidak bisa berdiri sendiri tanpa bimbingan wahyu.
Artinya, jika wahyu bertentangan dengan akal, maka akal-lah yang harus
mengalah. Karena wahyu pasti benar sedangkan akal kita mungkin belum sampai untuk
memahami hakikat wahyu tersebut. Toh pada kenyataanya, kita sering mengira
sesuatu itu buruk, tapi ternyata hakikatnya adalah baik, begitu juga
sebaliknya.
Sedangkan bagi anda yang meyakini bahwa akal mampu untuk menemukan
kebaikan dan keburukan sejati, maka anda akan dengan bebas berdansa untuk
berijtihad dengan berbagai perangkat logika yang ada. Maslahat dan maqashid
syariah bisa dijadikan sebagai alat pembenaran untuk ijtihad apapun. Dan Ijtihad
apapun akan mampu terlihat benar karena logika pembenaran akan selalu bisa
dicari. Disini, teks hanya dijadikan sebagai bahan inspirasi seperti “penelitian
terdahulu” dalam sebuah tulisan ilmiah. Jika teks bertentangan dengan akal,
maka teks harus ditafsirkan agar sesuai akal. Teks bukanlah pondasi inti. Akal
adalah pondasinya.
Tapi, kebebasan tersebut selain menjadi kelebihan, juga menjadi
kekurangan. Kenapa? Karena masing-masing manusia memiliki akal dan logikanya
sendiri-sendiri. Pada kenyataanya, baik dan buruk tidak bernilai universal sama
seluruh dunia. Yang baik bagi anda, belum tentu baik untuk saya. Yang baik bagi
satu komunitas, belum tentu baik untuk komunitas lainya. Baik dan Buruk dan
bahkan Kebenaran, menjadi relatif, tergantung siapa yang melihat.
Contoh yang mudah adalah menyoal LGBTQ. Kita bisa melihat berapa negara
yang menganggap ini adalah perbuatan bermoral, dan berapa negara yang
menghujatnya. Atau contoh yang lebih rumit, penjajahan/ kolonisasi. Bagi
penjajah, mereka berfikir dengan logika mereka, bahwa mereka sedang mengajak
orang lain dan menyebarkan ide agar negara yang mereka “kunjungi” menjadi
berkemajuan seperti negara mereka. Dan mereka berfikir bahwa “kenapa
orang-orang negeri ini sulit sekali untuk diajak maju? Kenapa mereka berkutat
dengan agamanya yang justru menjadi penyebab kemunduran? Kolot sekali mereka”.
Tapi bagi yang terjajah, tentunya penjajah itu kejam dan tak ubahnya sekumpulan
rampok. Contoh lainya juga sangat banyak, seperti industrialisasi massif yang
menyebabkan global warming, demokrasi yang menyebabkan banyak negara berjatuhan,
paham seks bebas, dll. Semuanya terlihat menjadi sangat relative.
Dan dari sinilah paham relativisme berkembang. Baik dan buruk ataupun
kebenaran itu ternyata tergantung siapa yang berfikir dan tentunya apa latar
belakang orang itu. Lagi-lagi, yang baik/ benar menurut anda, belum tentu baik/
benar menurut saya. Nilai subjektiftasnya sangat kental. Pada ujungnya, ketika
subjektifisme dan relativisme sudah menjadi nalar resmi mayoritas penduduk
manusia, maka baik dan buruk itu layaknya demokrasi. Yang banyak dianut, maka
itulah baik. Begitu pula sebaliknya. Dalam bahasa praktisnya, baik dan buruk,
ditentukan oleh mana yang trending di facebook, Instragam, X, dan media-media
besar lainya. Disitulah kenapa kasus yang terjadi di Palestina tak kunjung
selesai di dunia Barat. Karena yang “trending” adalah Palestina adalah
penjahatnya, dan Israel adalah orang baiknya. Inilah praktik real yang dalam post-modernisme
Foucoult disebut agar kita menguasai wacana publik (discourse). Mereka yang
menguasai wacana, menguasai “kebaikan” dan “kebenaran”.
Dan bagi teman-teman Sunni, disinilah kita harus paham bahwa mendebat
Muslim Progresif dengan argumen bahwa mereka menentang hal-hal yang qat’i (pasti)
dalam Islam adalah percuma. Kenapa? Karena mereka sendiri tidak meyakini bahwa
ada hal yang qat’i dalam Islam. Semuanya serba relatif. Relativisme
inilah yang qat’i. Nilai/ value yang katanya disaring dari teks yang
kemudian dijadikan dasar-pun juga bernilai subjektif, relative, dan bisa diubah
kapan saja selama “trending” berkehendak. Contohnya, prinsip “kesetaran gender”.
Bahkan (selain kasus Kartini) 50 tahun yang lalu di Indonesia, prinsip ini sama
sekali tidak “trending” bahkan tidak terdengar. Tapi giliran banyak yang terilhami
oleh feminism Barat, prinsip ini menjadi prinsip inti. Maka, besok-besok tidak
perlu kaget jika prinsip “veganisme” dianggap standar baru dalam memahami Islam,
lalu ada fikih baru seputar “hukum aqiqah dan idul adha dalam perspektif
veganisme”. Saya pun tidak sedang bercanda, karena memang aliran veganisme
sedang menguat di Eropa dan Amerika.
Tidak ada yang Ketiga
Dari kedua pendapat tersebut, saya sendiri melihat tidak ada pendapat
ketiga. Karena jikapun ada yang berpendapat bahwa akal dan wahyu diletakan
setara, maka pertanyaan berikutnya adalah “jika ada wahyu (yang jelas dan tidak
multi-tafsir) bertentangan dengan akal, mana yang akan dimenangkan?” Dari sini
kemudian akan ketahuan mana yang dijadikan prioritas.
Saya sendiri berkeyakinan setelah mempelajari argumen yang ada bahwa
akal tidak akan mampu berdiri sendiri untuk mengetahui mana yang baik dan
buruk. Karena setiap manusia punya akal masing-masing. Maka dibutuhkan satu
standar baku yang objektif untuk menilai baik dan buruk. Standar ini tidak boleh
berasal dari akal dan kedudukanya harus lebih tinggi daripada akal. Dan (terinspirasi
dari filsafat pengetahuanya Imam Ghazali), satu-satunya sumber pengetahuan yang
lebih tinggi daripada akal adalah wahyu dari Allah Yang Maha Mengetahui. Akal baru
diperbolehkan berijtihad mengenai maslahat dan mafsadat ketika teks tidak
mengatakan apa-apa mengenai hal tersebut. Jalan ijtihadnya-pun tetap harus
dikawal dengan nilai-nilai dari teks yang ada.
Dari sini juga lah saya tidak setuju ketika ada sebuah hukum Islam yang
diambil dari teks al-Quran/ Hadis (yang tidak multi-tafsir) dibaca dengan
perspektif feminisme, perspektif HAM, atau perspektif lainya. Misalnya, Tafsir
kewarisan Islam perspektif feminism atau hukum keluar dari agama Islam
perspektif HAM. Kenapa? Karena paham apapun itu baik feminism, HAM, dll, adalah
produk akal. Dan ketika kita sudah mengambil posisi bahwa “akal tidak boleh
bertentangan dengan wahyu” maka akan menjadi tidak masuk akal ketika kita menyalahkan
wahyu dengan standar akal. Selain itu, menjadikan sebuah perspektif sebagai
standard untuk menilai hukum Islam, berarti menganggap paham ini lebih tinggi
kedudukanya daripada wahyu itu sendiri. Bagi kita yang sudah yakin dengan
pendapat pertama, maka yang diperbolehkan (secara logis) adalah pembahasan
mengenai “feminism dalam perskpektif Islam”, “HAM dalam perspektif Islam”, dll.
Dari sini, kita tidak hanya bangga dengan Islam sebagai jalan hidup, tapi juga
mematuhi aturan berfikir logis. Dan bukan hanya FOMO (Fear of Missing Out) lalu
kemudian ikut-ikutan yang sedang “trending”.
Debat lama yang akan bertahan sampai hari kiamat
Sebenarnya debat ini bukanlah debat baru dalam dunia Islam. Dulu
Muktazilah juga memiliki pemikiran yang sama dengan pemikiran “Islam Progresif”
pada masa ini. Menurut mereka, baik adalah apa yang dianggap baik oleh akal,
begitu juga sebaliknya. Bedanya mungkin, pemikiran Muktazilah lebih berkutat di
masalah akidah, sedangkan aliran Islam Progresif ini lebih fokus pada masalah fikih,
sambil sesekali mencolek isu-isu akidah, seperti isu semua agama menuju Tuhan
yang sama. Dan bukti bahwa ide ini sudah bertahan selama hampir 1400 tahun
meskipun dengan segala pasang surutnya, seperti menunjukan bahwa perdebatan ini
sepertinya akan bertahan sampai menjelang hari kiamat.
Wallahu a’lam…
Posting Komentar untuk " Jawab Pertanyaan Ini Dulu, Baru Anda Bisa Belajar Fikih Dengan Tenang"